Lihat ke Halaman Asli

Fajar Di Minggi Gerimis

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ruangan itu akhirnya sepi. Setiap orang yang mengunjungi kawanku tak lupa  meninggalkan sebuah bingkisan, sekotak roti, buah-buahan, dan kadang-kadang sejumlah uang yang tak aku tahu jumlahnya. Masing-masing dari mereka membawa  perasaan melalui barang yang bermacam-macam sebagai salah satu wujud doa kesembuhan baginya.

Aku sendiri hanya mampu membeli buah-buahan sekadarnya karena persediaan uang begitu menipis. Biarpun begitu, dalam waktu-waktu senggang aku selalu menjenguknya. Tak ada kekhawatiran bagiku kapan waktu-waktu itu muncul, karena kesibukkanku akhir-akhir ini hanya menyelesaian tugas akhir yang begitu menjemukkan. Suatu pengganjal mata yang tak kunjung hilang.

Sejak seminggu yang lalu ia dirawat di RS Kariadi karena kerusakan fungsi ginjal. Setidaknya itu yang dikatakan pak Dokter.  Aku tak begitu tahu bagaimana riwayat penyakitnya hingga semuda ini mengidap penyakit macam itu. Barangkali gaya hidupnya yang tak teratur, terutama pola makan. Kadang-kadang teringat olehku bagaimana kesibukkannya bekerja sebagai koordinator salah satu proyek Perusahaan besar. Aku bisa bayangkan setelah ia menceritakan semua tentang pekerjaannya dua tahun lalu. Aktivitas ekstra padat, ditambah pola makan yang tidak sehat pada akhirnya jadilah sumber-sumber penyakit.

Menurut orangtua, saudara dan teman-teman kuliahnya—yang terakhir ini baru kukenal ketika  bertemu mereka di ruangan tempat kawanku dirawat—ia biasa begadang dan selalu mengonsumsi minuman-muniman ringan. Maksudku ialah softdrink.

Dokter bilang begini:

Minuman itu mengandung zat-zat pengawet dalam jumlah besar. Dan sangat berbahaya bagi ginjal jika dikonsumsi dalam waktu lama dan intensif. Bagian ginjal yang berfungsi menyerap zat-zat yang diperlukan oleh tubuh terkena dampak oleh zat-zat yang dikandung softdrink. Pada akhirnya terjadi kerusakan pada bagian ginjal, dimana zat-zat yang seharusnya diserap oleh tubuh terlewat begitu saja. Akibatnya—seperti yang terjadi pada temanmu—beberapa bagian tubuhnya kembung berisi cairan-cairan yang tak terserap.

Samar-samar dapat kupahami penjelasannya. Tak kusangka dampaknya sampai seburuk itu. Aku pikir bahaya zat kimia—termasuk zat pengawet—baru nampak setelah beberapa tahun, persis seperti apa yang dialami teman ibuku. Tapi ini, kawanku... “huh,” dengusku tak percaya.

Kalau kawanku yang semuda ini saja bisa terkena dampaknya, tentu ia telah mengonsumsi softdrink cukup lama, barangkali juga makanan-makanan instan yang turut menyumbang zat-zat keparat itu di tubunya.

Tidak seperti jaman dulu, kata bapakku. Sekarang semua makanan dan minuman serba instan. Dan yang instan itu selalu buruk di dalamnya; pengawet, pemanis, penguat rasa dan macam-macamlah. Orang sekarang harus pandai menjaga diri, juga membatasi diri soal makan dan minum.

Dan ia, kawanku... rupa-rupanya ia memang pengagum minuman ringan. Dalam dua bulan terakhir, tepat satu minggu sebelum dirawat, ia sering meminumnya, sebelum dan sesudah makan mengikuti pola makan yang tiga kali sehari itu. Dapat dibayangkan berapa banyak endapan-endapan pengawet yang tertampung di ginjalnya. Aku merasa kasihan, tetapi itu sudah menjadi resiko manusia modern yang penuh dengan makanan-minuman instan disana-sini.

Selain itu, kawanku ini mempunyai riwayat tubuh yang lemah, dan boleh dibilang rawan penyakit. Ia selalu mengeksploitasi tubuh dan pikirannya untuk membantu orang tua dan pekerjaannya yang bagiku terasa amat berat. Orangtuanya adalah pengusaha konveksi di daerah Pekalongan, dengan jangkauan pasar yang cukup luas mencakup Semarang, Jogja, Cirebon, Jakarta dan Bekasi. Meski pekerjanya berjumlah besar, sekitar 20 orang, ada saja yang dapat dikerjakan kawanku ini, dan jumlahnya tak kurang besarnya dari pegawai-pegawai lain. Tiap minggu ia perlukan pulang ke Pekalongan, membantu. Ya, membantu orangtua adalah satu hal yang bisa mengurangi rasa rindu dan menebus hutang budinya. Setidaknya itu yang nampak olehku. Dalam bekerja, seringnya ia lakukan sehabis Isya’ hingga menjelang shubuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline