[caption caption="Dok. Pri| Pertemuan pemuda-pemudi lintas agama dan aliran"][/caption]
Butuh waktu lebih lama untuk saya bisa mengingat hal ini, entah ini menjadi hal yang penting atau tidak, akan tetapi pengalaman pada akhir tahun 2013 lalu, menjadi pengalaman yang mengubah pola pikir saya akan sesuatu, selain itu pribadi ini mengintropeksi diri sendiri. Lebih dari itu, saya juga lebih berhati-hati dalam menilai bahkan sudah tidak ingin menilai, tentang apa yang di anut oleh seseorang atau komunitas. Karena, bisa jadi apa yang saya anut pun diragukan oleh kebanyakan orang diluar sana.
Saat itu saya masih tinggal di kawasan Pasar Minggu, kalau tidak salah mengingat, saya baru saja masuk sekolah tinggi filsafat. Dalam keadaan awal masuk kuliah tersebut, tentu saja keadaan perkuliahan bisa dikatakan sangat padat. Kadang kala, itu menjadi hal yang membuat runititas saya terasa statis hingga condong kepada hal yang membosankan.
Siang itu, Bunda mengirimkan pesan pendek agar cepat menghubungi salah seorang kerabatnya, hingga pada perjalanan waktu saya lebih senang memanggilnya dengan panggilan “Tante Chen” hingga saat ini. Ya, saat itu saya kebingungan tentang tante yang satu ini, akan tetapi atas arahan Bunda, saya tidak terlalu kaku dalam beberapa pembicaraan dengannya baik melalui pengiriman pesan pendek atau email.
Tidak butuh waktu lama, setelah saya menghubunginya, tante Chen mengajak saya bertemu di kantin kampus. Kebingungan saya makin menjadi, kala tante Chen tahu saya berkuliah di tempat yang belum saya sebutkan kepadanya, belakangan saya baru mengetahui bahwa tante Chen, juga sedang menempuh studi S2 di tempat dimana saya berkuliah.
Waktu bertemu dikantin kampus pun tiba, setelah keluar kelas saya bergegas menuju kantin kampus. Cukup ramai siang itu, karena sudah waktu makan siang, seorang wanita dengan menggenggam handphone sedang asyik ngobrol dengan temannya, awalnya tidak yakin bahwa itu tante Chen yang tempo hari saya hubungi, tapi dengan menggadaikan rasa malu dalam diri, saya pun bertanya kepada wanita tersebut. Ia hanya mengangguk kemudian memberikan kode untuk saya duduk di kursi yang satu meja dengannya.
Saya pun duduk dan menunggunya selesai mengobrol dengan temannya di sebrang telephone sana, beberapa saat menunggu akhirnya tante Chen selesai. Beberapa saat kami hanya saling pandang, kemudian tante Chen mengenalkan dirinya. Saya hanya bisa memperhatikan tanpa banyak bicara, namun dari pembicaraan yang cukup lama tersebut, tante Chen yang katanya kerabat Bunda ini mengajak saya untuk mengikuti salah satu acara, dimana dalam acara itu akan hadir banyak sekali perwakilan pemuda dan pemudi lintas agama dan aliran.
Tanpa banyak pikir, saya setuju dengan ajakan tante Chen. Entah karena saya mulai jenuh dengan suasana perkuliahan kampus saat itu, atau bisa jadi karena saya belum bisa membangun relasi yang tepat, sehingga mengakibatkan saya lebih banyak menghabiskan waktu dikamar dengan tumpukan tugas dan buku-buku filsafat berbagai aliran.
Setelah pertemuan itu, saya dihubungi oleh tante Chen lewat email tentang syarat dan pra-syarat mengikuti kegiatan tersebut. Tidak mau mengunggu lama, saya selesaikan itu semua dengan cepat, karena saya sangat ingin melarikan diri dari rutinitas kampus ketika itu. Dan baru saya tahu, bahwa ketika itu, saya butuh jalan-jalan untuk merenggangkan saraf-saraf yang kaku oleh pembelajaran filsafat.
Syarat dan pra-syarat yang diperlukan pun segera saya kirimkan, setelah pengiriman tersebut, masuk sebuah pesan singkat berisi tentang informasi meeting point dan tempat acara. Sialnya, saya tidak tahu bahwa acara tersebut diadakan disebuah vihara yang berada di kawasan Lembang, Bandung. Karena acara diluar kota itulah, saya harus meminta ijin beberapa hari kepada biro kemahasiswaan dan akademik atas acara tersebut, akan tetapi hal itu lebih mudah, karena saya mendapatkan bantuan dari teman-teman ICRP (Indonesian Conference on Religiond and Peace) yang salah satunya tante Chen, yang memberikan surat pengantar dan permohonan ijin atas acara tersebut.
Sampailah pada acara hari dimana saya harus pergi menuju acara, dari kawasan Pasar Minggu, saya harus sudah pergi pukul 5 pagi menggunakan commuter line yang penuh sesak oleh para pegawai, mahasiswa, siswa dan lain sebagainya menuju kawasan balai kota Jakarta, yang menjadi tempat meeting point keberangkatan dari Jakarta menuju Bandung. Mengapa saya harus berangkat sepagi itu dari kawasan Pasar Minggu? Jawabannya, karena ketika saat itu saya tidak begitu kenal dengan daerah Jakarta, yang mengharuskan saya mencari tempat tersebut lebih lama, dan juga estimasi keberangkatan dari panitia yaitu pukul 8 pagi. Tentu saya tidak ingin cerobah dan tertinggal dalam acara tersebut, dimana dalam acara tersebut saya mengharapkan berbagai hal bisa saya dapatkan, kalau bisa dikatakan saya ini orang “pragmatis yang radikal”.