Lihat ke Halaman Asli

Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina

Diperbarui: 25 Juni 2019   06:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

20/06/2019 20.25Jika memang kita diwajibkan untuk menuntut ilmu sampai ke negara tetangga, mungkinkah? karena untuk mengejar bangku sekolah unggulan di kelurahan, kecamatan, ataupun kota tetangga pun kita terjerat dengan kebijakan pemerintah terkait sistem zonasi. Menurut Permendikbud No.51/2018 tentang penerimaan peserta didik baru tahun ajaran 2019/2020. 

Keputusan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan pemerataan pendidikan di negara kita. Adapun jalur pendaftaran untuk mengenyam pendidikan sekolah terdiri dari tiga jalur : 1. Jalur Zonasi; 2. Jalur Prestasi; 3. Jalur Perpindahan Tugas Orangtua/Wali. 

Nah, didalam keputusan tersebut, penerimaaan siswa baru dari jalur zonasi diharuskan sekurang-kurangnya 90% dari total peserta didik. Apa yang salah dengan sistem ini? Jangan tanyakan pada Pak Jokowi karena beliau akan menyuruh anda untuk bertanya kepada Pak Muhadjir Effendy (lha emang Pak Jokowi ga punya nomor WA nya?) 

Pendapat Presiden RI terkait kebijakan ini adalah "Memang masih ada beberapa kendala di lapangan terkait sistem zonasi, untuk detailnya tanyakan saja pada Mendikbud!" dan Mendikbud menjelaskan bahwa sistem zonasi tidak hanya diperuntukkan bagi siswa saja, melainkan akan diterapkan juga kepada pemerataan tenaga pendidik, fasilitas masing-masing sekolah dan lainnya yang akan menunjang mutu pendidikan di berbagai daerah. Kapan? gatau.

Ombudsman menyetujui kebijakan tersebut, namun mereka juga berpendapat bahwa pemerintah harus memerhatikan beberapa kendala yang timbul atas tegaknya kebijakan sistem zonasi tersebut. Pendeknya, jika kita ingin bersekolah maka harus yang berada di dekat daerah kita. Jika kuota sudah terlampaui, maka kita harus nebeng ke daerah tetangga.

Opini subjektif saya adalah jika memang pemerintah ingin mewujudkan pemerataan mutu pendidikan, harus didampingi dengan pemerataan tenaga pendidik, dan fasilitas yang menunjang. Upaya ini harus dilakukan sebelum pemerataan jumlah siswa. Mengapa demikian? Tidakkah kalian berlogika sama dengan Pak Jokowi beserta pendukungnya dalam hal infrastruktur? Bukankah mereka telah gamblang menjelaskan bahwa infrastruktur harus diprioritaskan demi terwujudnya sistem ekonomi yang bertumbuh? Bukankah jika ingin mendapatkan siswa yang berpendidikan tinggi harus ditunjang oleh guru yang kompeten pula? 

Dear Bu/Pak Pejabat yang memiliki tanggungjawab dalam kebijakan ini, tidakkah kalian berfikir jika suatu kumpulan siswa dalam suatu daerah diwajibkan untuk bersekolah di daerahnya akan menyebabkan turunnya potensi akademik? 

Persaingan antar siswa akan terlampau biasa saja. Karena toh saingannya hanya tetangga dekat. Dimana poin multikulturalisme? Dimana poin bhineka tunggal Ika? Jika potensi keberagaman telah dipersulit dengan adanya kebijakan ini.

Terasa kurang bijak jika kita mempertandingkan potensi lulusnya siswa dalam helatan PPDB berdasarkan dari dekat-tidaknya tempat tinggal mereka dengan sekolah. 

Menurut saya, adanya sekolah unggulan adalah hal yang sah-sah saja dan tidak dapat diselesaikan problematikanya secepat kilat setelah dikeluarkannya kebijakan ini. Mengapa? Ya karena tenaga pendidik dan fasilitas penunjangnya diakhirkan. 

Jujur saja, kebijakan ini lebih pantas jika disebut "pemerataan jumlah siswa" bukan "pemerataan mutu pendidikan" karena yang terjerat dalam kebijakan ini hanyalah potensi diterimanya siswa terhadap sekolah yang mereka inginkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline