Lihat ke Halaman Asli

Pertemuan

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari sudah bergeser ke arah Barat, saat mataku menemukannya duduk di sudut café dengan sebatang rokok di jemari kirinya.Sedang jemari kanan sibuk mengaduk isi cangkir berwarna putih.Mungkin kopi.Aku tak lekas mendatanginya tapi masih mematung beberapa jangkah dari pintu.

Duduknya tampak gelisah, ia hisap rokok dalam-dalam lalu menghembuskannya, hisap lagi lalu menghembuskannya lagi.Matanya menelanjangi segala penjuru café, seperti tengah mencari seseorang.Mungkin aku.Dan, ya.

Dia lekas berdiri, meneguk isi cangkir dan mematikan rokok begitu pandang mata kami bertemu.Aku tersenyum geli.Dia gugup.Aku menuju mejanya dengan masih ditelanjangi oleh tatap mata dan senyum ragu-ragu yang melekat di bibirnya.

Dia menjabat tanganku, canggung.

“Hmm, sejak tiga tahun lalu,” katanya.Aku bahkan tak menanyakan apapun, hanya menatap lekat-lekat asbak yang sudah menggunung oleh abu dan puntung rokok.Aku tersenyum dan masih tak tahu apa yang akan kukatakan.

“Apa kabarmu?” tanyanya, sembari menyodorkan buku menu untukku.

“Seperti kelihatannya, aku baik.Bagaimana denganmu?” kataku, menerima buku menu itu dan mulai membukanya.

“Ya, beginilah.”Kedua tangannya ia tumpuk di atas meja.Matanya menatapku lekat-lekat seolah ingin melumatku dalam pupilnya.

Aku menghentikan sejenak pencarian menemukan menu minumku, “Menjalani apa saja yang ada di depan mata?” tanyaku, menatapnya.

“Ya,”

“Haha, kamu tak mengubah falsafah hidupmu.”Aku kembali menenggelamkan mataku dalam buku menu.

“Kamu mengubahnya?”

“Tentu.Aku tak mau menjadi daun yang jatuh ke air, pasrah dengan arusnya,” kataku sambil melambai ke waitress setelah menemukan apa yang ingin kuminum.Jus avokad.

“Apa yang salah dengan mengikuti arus air?”

Aku tak lekas menjawabnya, seorang waitress datang mengambil kertas pesananku beserta cangkir kosong miliknya.Aku juga memintanya untuk membawa pergi asbak yang sudah penuh itu.

“Jus apokadnya dua, ya, mbak!” katanya sebelum waitress itu berpaling dari meja kami.

“Kita tidak pernah tahu di mana aliran air itu akan bermuara.Sedang air mengalir dari tempat tinggi menuju tempat rendah.Aku tak mau itu.”

“Lalu kamu ingin jadi apa?”

“Kita bertemu tidak untuk membicarakan falsafah hidup, kan?Aku ingin mendengar ceritamu tentang lima tahun belakangan ini,” aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Tak begitu menarik untuk diceritakan.Berjibaku dengan mesin-mesin dari pagi sampai sore hari.Kadang harus lembur sampai malam hari,” katanya sambil memainkan pemantik apinya.

“Laki-laki yang rajin, hehe…” aku mencoba untuk mencandainya.

“Bagaimana denganmu?” tanyanya, sambil menghisap jus avokadnya yang sudah terhidang di meja.

“Aku?Cukup menyenangkan beberapa tahun belakangan ini.Awalnya hanya iseng-iseng saja membuat kue kering, eh, malah keseringan.Ada yang memesan untuk di konsumsi sendiri.Lalu ada juga yang memesan untuk acara pernikahan, ya sudah, sekalian saja aku membuka toko kue kering.”

“Hebat.Kudengar kamu sudah menikah?” tanyanya, raut wajahnya sedikit berubah.

“Ya, dua tahun lalu,” aku menjawab dengan hati-hati.

“Selamat, ya!Turut berbahagia.” Aku tersenyum, bingung hendak berkata apa.Basa-basinya tak sempurna, matanya memerah.Aku memilih untuk menghisap jusku banyak-banyak.

“Bagaimana dengan rumah mungil dengan halaman luas di depan dan belakang?Yang akan kamu tanami banyak pohon buah, lalu di sudut belakang akan ada sepetak tanaman obat-obatan.Kamu ingat, kamu pernah bilang hanya akan memberikan obat-obatan tradisional jika suami dan anak-anakmu sakit.Obat yang kamu racik sendiri.”

Dia berbicara sangat cepat, seperti sedang membaca buku yang sudah dia hafal bahkan letak titik dan komanya.

“Aku juga ingat, kamu pernah bilang, seminggu sekali akan mengajak anak-anak bermalam di halaman belakang, mendirikan tenda.Camping! Memainkan gitar, membakar ikan gurami hasil pancingan sendiri dari kolam depan rumah.Malamnya, kamu membacakan buku dongeng untuk mereka.Sedang aku akan sibuk menepuki nyamuk yang menggigiti kalian.Hahaha….”

Dia tertawa, padahal dadaku pecah.Dia mengeluarkan rokok, mengambil satu dan menjepit diantara bibirnya.Tangan kanannya menyalakan pemantik api.Dalam sekejap, asap rokok itu menari-nari di depan wajahnya.Aku menatapnya lekat.Dulu, dia tak pernah merokok.

Suasana terhipnotis sepi.Tak ada yang diobrolkan tapi kami tak juga beranjak pergi.Masih duduk menghadap meja yang sama, saling diam.Sebelum akhirnya sebuah dering telepon kudengar.

“Iya, masuklah,” kataku pada seorang di seberang sana.

“Siapa?” tanyanya.

“Suamiku.”

“Dia tahu kamu menemui siapa?”

“Iya, tak satu pun yang luput darinya.Tadi, dia yang mengantarku ke sini,” kataku tersenyum, meyakinkannya.

“Apa dia menepuki nyamuk yang menggigitmu?” tanyanya, seperti bercanda.

“Ya, dan dia juga yang mengecup keningku setiap pagi. Hehe…”

Damn!! Hidup itu memang lucu, dengan siapa kita merancang mimpi, belum tentu menikmati dengan orang yang sama,” katanya beranjak pergi.

“Hei, aku belum mengenalkanmu padanya!”

“Tak perlu.”

gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline