Lihat ke Halaman Asli

Under The Tree

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Besok, aku tunggu di jalan masuk rumahmu.  Kita sepedaan lagi, jangan lupa siapkan Giselmu :D

Aku tak butuh waktu lama untuk menjawab pesannya.  Sedikit aneh memang, setelah beberapa lama dia menghilang, saat ini dia tiba-tiba datang.  Tak menanyakan kabar tapi justru mengajak bersepeda, rutinitas lama yang kami tinggalkan.

*

Keringat membutir di keningnya, meleler ke pelipis, mengilat terkena terpaan matahari pagi.  Tapi sedemikian cepat kilatan itu tamat, meresap pada handuk kecil berwarna putih yang mengalung di lehernya.  Ekor mataku tak henti-henti melirik ke arahnya, mencuri lihat setiap gerak yang ia lakukan.

“Ayo buruan, keburu panas!” katanya dengan kaki yang tak henti mengayuh pedal.  Ya, matahari mulai menggarang, dan kami baru sampai setengah perjalanan.

“Maaf, harusnya kita memang berangkat lebih pagi,” katanya lagi.  Dia terlambat datang, aku menunggunya lebih dari satu jam.  Tadinya kupikir dia tak akan datang.  Tapi, apalah arti keterlambatan satu jam jika saat ini aku kembali melihatnya memancal sepedanya, beriringan denganku.

Aku tersenyum, “Ya, seharusnya, tapi tak apa.”

“Kamu gak capek?” tanyanya, raut wajahnya nampak letih.  Aku menatapnya, tersenyum simpul.  Kaki-kaki yang lama tak diajak mengayuh mungkin yang membuatnya cepat capai.  “Kita istirahat dulu saja,” kataku.  “Iya, kita cari tempat untuk istirahat,” dia menyetujui, mimiknya tergambar lega.

Lima, enam, tujuh dan pada kayuhan ke sebelas setelah angguknya, kami menarik rem tangan.  Berhenti pada sebuah pertigaan di jalan persawahan.  Pohon Waru besar merimbuni sebuah lincak.  Aku dan ia segera melompat, duduk, lalu mengambil botol minum dan menenggaknya.

Langit membiru cerah, awan-awan putih bergumul menggantung tinggi di sisi Utara.  Di langit Barat, sebuah gunung menjulang tanpa tirai.  Di langit Timur, matahari berjingkrak meninggi.

“Hari ini cerah, coba kalau tadi kita berangkat lebih pagi seperti biasanya,” katanya, mendongak, memandang langit.

Seperti biasanya? Ah, rasanya itu sudah lama sekali sejak terakhir kami bersepeda pagi-pagi.  Aku ingat waktu itu, petang, usai Magrib tenggelam, dia datang ke rumah.  Memintaku untuk menyiapkan Gisel.  Memastikan rem-remnya dalam kondisi baik, ban-bannya terisi angin dengan sempurna.  “Esok, kutunjukkan tempat yang belum pernah kamu lihat!” katanya.  Aku mengernyitkan kening, ”dimana?” Dia berdiri, bersedekap, “Rahasia!”

Malamnya, aku merasa subuh lama sekali datang.  Berkali-kali aku menarik gorden jendela, atau menyorongkan lampu senter pada jam dinding kamar, namun tetap saja, tak ada tanda-tanda bahwa subuh telah tiba.

Berbekal air dalam botol dan sedikit jajanan ringan, kami berangkat.  Pagi masih benar-benar buta, hanya beberapa lampu jalan saja yang menerangi.  Tapi setelah kami melewati perkampungan, tak ada lagi lampu jalan.  Tanah lapang yang bertumbuh ilalang di ujung perkampungan tak membuat ia menghentikan kayuhannya, aku mengikut saja.

“Kita mau kemana?” tanyaku tak tahan lagi membendung mauku untuk tahu.

“Tenang saja, kamu pasti suka.  Tapi, nanti jalannya agak nanjak,” katanya.  Fajar meriap-riap, semburat jingga mengintip di ujung Timur sana.

Benar saja, tak lama kemudian jalan menanjak.  Aku harus mengayuh pedal-pedalku lebih bertenaga.  “Ayo, sedikit lagiii!!” katanya menyemangati.

Setelah nafasku hampir terputus kelelahan, akhirnya dia mengomando untuk berhenti.  Kami berbelok ke kiri.  Ada tanah lapang bertumbuh ilalang di sini.  Mirip seperti yang di ujung perkampungan.  Bedanya, tempat ini berada di ketingian.  Sebuah bukit.

“Cepat kesini!” pintanya yang sudah berlari lebih dulu.  Aku menyeret kakiku yang sudah kepayahan.  “Cepat atau capekmu akan sia-sia!” katanya lagi, aku berlari kecil.

“Lihat!” telunjuknya menunjuk ke Timur.  Aku terkesiap, bibirku tercekat, lelahku luntur sedemikian cepat.  Glek, glek, glek aku menelan ludah yang sudah sama sekali mengering.

Jika ada pagi yang indah, maka pagi itu adalah pagi terindah yang pernah kusaksikan.  Jingga menyemburat sempurna di ufuk timur, tak seberapa lama, sebuah lingkaran berwarna merah terang mengintip perlahan-lahan.  Sepertiga lingkaran, warnanya menjingga, setengah lingkaran, warnanya bercampur kuning kemerahan, dan setelah lingkaran itu menyembul sempurna, warnanya berubah kuning keemasan.

Aku laiknya menyaksikan sebuah pertunjukan alam yang begitu megah.  Rasa-rasanya, ingin sekali menyimpan setiap detik yang tersaksikan, lalu ketika detik terakhir habis, aku akan memutarnya berulang-ulang.

Langit menerang, sedang aku masih tak punya cukup kata untuk menggambarkannya.  “Bagaimana?” tanyanya.  Aku menatapnya, takjub.

*

“Kamu masih sering ke sana?” tanyanya tiba-tiba, aku salah tingkah.  Bagaimana dia tahu aku tengah memikirkan apa?

“Kemana?” tanyaku berpura-pura.  Tatapannya ia buang jauh dimana gunung itu menjulang.

“Bukit ilalang. Sunrise,”  nadanya tenang, aku gelagapan dalam diam.

“Kenapa kamu tiba-tiba menghilang setelah itu?” aku tak menjawab pertanyaannya, tapi malah melemparkan pertanyaan bodoh.  Dia menunduk dalam, seakan kata-kata dalam kerongkongannya begitu sulit terkatakan.

Sehelai daun Waru yang telah menguning jatuh perlahan tertiup angin, pelan, lalu mendarat dengan sempurna di sampingnya.  Entah apa yang tengah menggelombang di pikirannya, dia memungut daun itu,  memerhatikan tiap guratnya, lalu memutar pandangannya padaku.  Aku benar-benar tak mampu membaca yang tertulis di sana, di sorot matanya.

Sorot yang nyaris sama dengan beberapa waktu silam, setelah sedetik aku menyodorkan earphone dengan sebuah lagu yang mengalun dengan pelan.

nobody else

no one can make my dreams come true

'cause no one can compare to you

yes it's you, your love makes my wishes come true

Dia menunduk dalam, tengah menikmati atau mungkin meresapi lirik lagu yang tengah ia dengarkan.  Dadaku berdeburan.  Andai dia tahu, aku menaruhkan seluruh nyaliku saat itu.  Sekian lama mencari celah waktu yang tepat untuk ungkapkan rasaku padanya.

“Kenapa tak bicara langsung?” Tanya dia.

Aku merunduk, antara malu dan pilu.

“Maaf,” katamu lagi, meluluhlantakkan awan yang bergumpal-gumpal di langit dadaku.

it's you, yes it's you that I adore

it's you who makes my life so colorful

Lagu itu masih mengalun lembut dari earphone yang menggantung lesu di tangannya, tak kalah pilu dariku.

Belum sampai aku bertanya alasannya dan kemudian mematahkannya, belum sampai aku berteriak “Lalu apa selama ini?” Dan belum sampai aku kembali utuh, dia beranjak pergi.  Memacu sepedanya sedemikian cepat, meninggalkan aku yang berberaian.

oh no! I think I'm in love with you

oh no! I think I'm in love with you

oh no!

Ratusan hari setelahnya, aku tak juga mengerti, kenapa dia membuatku jatuh pada awalnya, kemudian berlari jauh ketika aku sudah benar-benar tak mampu berdiri tanpa bertopang padanya.

*

“Maafkan aku, tapi aku benar-benar tak tahu harus bagaimana saat itu,” katanya.

“Tak tahu harus bagaimana? Haha… bukankah kamu sudah melakukan sesuatu?” kujawab dengan nada sebiasa mungkin.  Jeda beberapa detik, “Menolakku,” lanjutku, berbisik.

“Maaf,”

“Jangan meminta maaf atas sesuatu kesalahan yang tak pernah kamu lakukan,” suasanya menjadi hening, bahkan burung Petrikah turut berhenti berisik.

“Cinta tumbuh tanpa kita mau, bahkan kita tak bisa memilih, pada siapa kita harus jatuh cinta,” dia diam tak menjawab.

“Dan kamu tak harus bilang iya, saat kubilang aku mencintaimu,” dadaku menyesak, aku berbohong.

“Yang tak pernah aku tahu, kenapa kamu menghilang setelah itu?” aku mencari manik matanya, mencari jawaban.

“Karena aku kira, dengan begitu membuatmu lebih baik,” katanya, masih menunduk.

“Kamu terlalu banyak mengira-ngira.  Harusnya kamu langsung saja bertanya padaku bagaimana baiknya.”

“Bagaimana?”

“Tentu saja kamu bilang iya, dan akhirnya aku menjadi kekasihmu.  Kamu menjadi kekasihku,” kataku, lugas.

Dia tak berkata, menoleh padaku, lalu tatapan kami beradu.  Sekian detik kemudian kami hanya saling menatap, melempar kerinduan.  Setelahnya, aku dan dia meledak dalam tawa.

Hahahahahaha……

“Kamu tak pernah berubah!”

“Tak pernah, tak akan pernah,” aku berkata masih dengan tawa yang terseret-seret.

Belum sampai aku kembali pada posisi normal, jemarinya dengan lembut menggenggam jemariku.  “Dan berarti, apakah kamu masih menyimpan rasa yang sama, untukku?” tanyamu.

Dan kupikir, aku tak perlu memberi jawaban.  Cukup membalas genggaman jemarinya lebih erat.

.

.

.

Photo by @faa_afu

Inspirasi tulisan dari Under The Tree

Tercetak miring : Lirik lagu You ~ Mocca

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline