[caption id="attachment_170690" align="aligncenter" width="640" caption="Keluarga Canting, Pagi Itu"][/caption] Jika ulang tahun pertamanya dirayakan di Greenz café, maka, di ulang tahun ke dua ini, Canting merayakannya di sebuah puncak gunung, ya Puncak Gunung Api Purba Nglanggeran!!
Sebelum bercerita banyak tentang perayaan ulang tahun canting, mari sebelumnya kita membicarakan apa itu Canting lebih dulu.
Jujur saja, sebenarnya saya acap bingung (bagaimana menjawab) setiap kali ada sebuah pertanyaan: Canting itu sebenarnya apa sih? Tentu yang ditanyakan disini bukan canting, alat untuk membatik itu. Bukan, bukan itu. Yang mereka maksud adalah sekumpulan pemuda/i absurd yang menamakan diri mereka Canting.
Apakah canting itu adalah sebuah komunitas? Ah, saya kok merasa kurang pas ya jika menyebut demikian. Seandainya pun iya, Canting adalah komunitas, maka komunitas Canting itu sebenarnya komunitas apa?
Apakah komunitas menulis? Ah, sepertinya bukan. Karena tidak semua orang yang tergabung ke dalamnya adalah mereka-mereka yang sering menulis (atau suka menulis). Apakah penggiat social? Hmm, bagaimana ya? Sepertinya sebutan seperti itu juga kurang tepat.
Terus apa dong?
Nah itu, seandainya saya mengerti, pastilah sudah sejak tadi saya tuliskan bahwa Canting adalah bla bla bla. Saya sendiri yang sudah terjerumus bersama mereka kurang lebih 2 tahun ini pun masih merasa belum jelas tentang definisi canting itu sendiri. Sebentar, tidak jelas?! Aha… tepat.
Canting adalah sebuah komunitas yang tidak jelas!!
Dan saya teringat dengan apa yang diungkapkan Paman Dori aka Agung Poku semalam, “Sewaktu saya pulang ke Sulawesi, ada seorang dari komunitas seperti kita. Menanyakan tentang bagaimana menyelesaikan kendala-kendala dalam komunitas mereka.
Aku bingung bagaimana menjawabnya. Karena saya merasa, di Canting tak pernah ada kendala.”
“Sebenarnya, bukan tak pernah ada kendala. Namun Canting tak pernah menganggap bahwa kendala itu adalah sebuah bentuk kendala.” Ah, bukankah ini sangat keren? Sangat cihuy?
Sepengatahuanku, Canting bukan sebuah komunitas yang berkonsep. Harus begini, harus begitu. Setiap berkumpul kita akan membahas ini, membahas itu. Jika ingat Canting, maka tanpa disuruh, otak saya akan meloncatkan beberapa kata, diantaranya: senang, gila, berani, mimpi, berbagi, kebahagiaan dan semangat!!
Buat semuanya menjadi menyenangkan!
Entah, kalimat itu dibumbui oleh mantra berjenis apa, namun kalimat itu begitu berperan besar dalam kehidupan saya. Baik di dalam maupun di luar Canting. Ketika sebuah hal yang cukup menegangkan, menyakitkan, sedang melewati saya, maka segera kalimat sakti itu muncul. Tak butuh waktu lama, semua pun akan dipaksa menjadi baik-baik saja.
Selanjutnya tentang berani bermimpi.
Canting memang berisi orang-orang gila yang di otaknya tertanam mimpi-mimpi gila luar biasa. Namun bukan canting tentunya jika tak pula berani mewujudkannya!
Dulu, saya sama sekali tak pernah bermimpi, bahkan membayangkannya pun tidak. Berada di sebuah ketinggian di bumi ini. Ya, di puncak gunung! Perempuan, bertubuh mungil, tak bertenaga, adalah beberapa hal yang menjadi momok untuk tak berani –bermimpi- mendaki gunung, melirik pun tidak.
Namun, salah seorang kawan dari Canting berkata demikian:
“Yang kamu perlu cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang lebih sering menghadap ke atas. Lapisan tekad yg seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yg akan selalu berdoa.
Dan kamu akan selalu dikenang sebagai seorang yang masih punya mimpi dan keyakinan, bukan cuma seonggok daging yang punya nama. Kamu akan dikenang sebagai seorang yang percaya pada kekuatan mimpi dan mengejarnya, bukan seorang pemimpi saja, bukan orang biasa-biasa saja tanpa tujuan, mengikuti arus dan kalah oleh keadaan. Tapi seorang yang selalu percaya akan keajaiban mimpi keajaiban cita-cita dan keajaiban keyakinan manusia yang tak terkalkulasikan dengan angka berapapun.”
Dan tetiba saya mengumpulkan tekad, untuk suatu saat berdiri di puncak Gunung Lawu, ya Argo Dumilah. Sebuah gunung yang sering saya lirik jika keluar dari rumah, yang sering saya kunjungi lerengnya. Tentu, perkataan kawan saya itu bukan hanya bisa diterapkan pada mimpi mendaki saja, tapi juga mampu diterapkan untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang lain. Bukankah begitu, kawan?
Berbagi kebahagiaan.
Kalian sudah pernah mendengar tentang 1000 burung kertas? Ah, kalau belum pernah, coba saja langsung telusuri di web ini : http://1000burungkertas.org/ atau coba tengok coretan saya dengan judul Canting, 1000 burung kertas, dan Studio Biru beberapa bulan lalu tentang peresmian Sanggar Anak Studio Biru, sentuhan pertama Canting atas kegiatan mereka yang bernama 1000 burung kertas: Hope and Happiness.
Tentu semua mimpi tak akan terwujud, semua rencana tak akan terlaksana tanpa adanya semangat. Setuju? – anggukkan kepala dan semuanya beres.-
Back to topic
Ini adalah kali kedua saya mendaki Nglanggaran. Ngalnggeran memang sebuah gunung, namun jalur pendakian gunung ini –kata seorang kawan- sangat mudah jika dibandingkan dengan gunung-gunung lain –Merapi, Lawu, Semeru dll-
Jika ada hal gila terjadi di Canting, maka itu tak lagi nampak gila. Ya, biasa saja. Mungkin karena memang sudah terbiasa gila. Seperti acara di puncak Nglanggeran ini saja. Mana ada tiup lilin ulang tahun, lounching buku di puncak gunung? Tentu saja ada, lha yang kemarin itu? :p
Dan acara malam itu pun dibuka oleh Den Mas Gundul aka Hendra Arkan. Sedikit ulasan tentang perjalanan Canting, tiup lilin yang heboh, pembagian award Canting terkaporit (Ika Maria), terhiperaktif (Rina Tri Lestari), tergalau (Hendra Arkan), terlunta-lunta (Bayu), terproduktif/tercihuy (Elisabeth Murni). Dilanjutkan launching buku Ndemin Selawase, lalu inagurasi Sapu Sothil, dan acara terakhir adalah curhat!
Setiap jengkal acara selalu ada gelak tawa. Semua menyenangkan. Semua senang, semua tertawa (kecuali yang galau).
Acara di puncak gunung itu pun berakhir setelah pagi harinya. Kami semua turun. Ada sebagian yang langsung pulang dan sebagian lagi melanjutkan acara di hari kedua. Ya, Canting bekerja sama dengan PMI Yogyakarta mengadakan baksos pemeriksaan dan pengobatan gratis yang bertempat di Studio Biru dukuh Ripungan.
Masyarakat terlihat antusias, tercatat 80an orang yang mendaftar dan memanfaatkan acara ini. Ini adalah bentuk Canting -lain- untuk berbagi kebahagiaan dengan sesama. Semua berjalan sesuai rencana, semua menyenangkan dan semua senang.
Selamat ulang tahun, Canting!
[caption id="attachment_160874" align="aligncenter" width="300" caption="Acara di buka pukul 23.30"]
[/caption] [caption id="attachment_160876" align="aligncenter" width="300" caption="Emak dan Bapaknya Ndemin"]
[/caption]
[caption id="attachment_160878" align="aligncenter" width="300" caption="Edisi Curhat berjamaah"]
[/caption] [caption id="attachment_160879" align="aligncenter" width="300" caption="Setelah mengejar Sunrise"]
[/caption]
[caption id="attachment_160882" align="aligncenter" width="574" caption="Baksos di Dukuh Ripungan"]
[/caption] *Semua foto milik Lina Sophy aka Bu Ketan (Ketua Yayasan Chentingsari)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H