Lihat ke Halaman Asli

Dia, Kekasihku!

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Toko Buku, Hari Minggu pukul 10.00 pagi. Aku tunggu.

Entah, sudah berapa kali aku membaca pesan singkatnya itu.  Pesan singkat sejak dua hari yang lalu dan baru kemarin aku membalasnya.  Tak kalah singkat, malah sangat singkat.  Ya, hanya satu kata saja ditemani dua tanda seru.  Siap!!

Begitulah dia. Tak pernah berbasa-basi. Berbicara seperlunya. Seakan setiap kata yang diucapkannya itu adalah beli, harus isi ulang, sehingga dia harus mengirit sedemikian rupa bicaranya.

Seperti halnya ketika dia tengah merasa rindu, kangen. Maka jangan kira dia akan mengirimkan sebait puisi atau sebaris kumpulan kata romantis untuk menggambarkan suasana hatinya. Jangan pernah mengira akan hal itu. Hal paling mengesankan saat itu terjadi adalah, dia akan mengirimiku sebuah pesan singkat.  Sangat singkat: kangen!

Dulu, di awal-awal hubunganku dengannya -entah hubungan ini apa namanya, tak pernah ada kata cinta. Tapi aku tahu, aku mencintainya. Pun sebaliknya-, sering kali aku merasa gemas setengah mati. Banting-banting bantal guling, jambak-jambak rambut setiap kali menerima balasan SMS darinya.

Dengan sepenuh hati, aku mengirimkan sebait puisi;

Malam ini harusnya purnama, namun di luar sana justru gelap gulita;
Sayang, kautahu kenapa?;
Rinduku padamu menyembunyikan terangnya;
Mengancam malam agar menghadirkanmu, untukku.

Puisi terkirim, gelisah mendera dada.  Saat itu, ya, saat itu aku berharap balasan puisi darinya.  Meski aku tahu betul dia tak pandai untuk itu, tapi tetap saja aku berharap ada sesuatu yang mungkin menginspirasinya untuk menulis sebuah bait puisi.  Ah, sebaris saja aku sudah pasti sangat senang.

Bib…

Pesan balasan kuterima, gemetaran ibu jariku membuka pesannya.  Kau tahu, dadaku benar-benar berdebaran saat itu.

Sama.

Sama? Hanya itu? Sama? Ya, hanya itu yang kuterima. Hal serupa pun kembali berulang hingga entah berapa kali. Dan entah berapa kali itu pula aku akan berteriak-teriak seperti orang gila.  Gemas setengah mati.

Pernah pula suatu pagi, tiba-tiba ponselku berbunyi.  Sebuah pesan masuk, darinya.  Hatiku girang.  Tak biasanya dia mengirimiku pesan pagi-pagi.  Dan itu sudah seumpama kejutan.  Kejutan kecil yang membuat letupan-letupan kecil di hati.

Siap-siap, aku jemput.

Aku melirik jam di dinding kamar. Masih setengah tujuh pagi. Sambil terus tersenyum aku mengetik balasan untuknya.

Jam berapa? sekarang aku masih masak.  Mungkin selesai pukul 8 nanti.  Lagi pula aku juga belum mandi.

Belum sampai aku meninggalkan ruang kamar, ponselku sudah kembali berbunyi.

Aku sudah di depan.

Saat itu juga seakan bumi berhenti berputar.  Aku kehilangan tulang-tulang.  Bingung.  Antara lari ke depan atau ke dapur yang ada di belakang.  Pacarku, ah bukan, kekasihku sudah berada di depan rumah sedang dari dapur terdengar suara gemelatik.  Minyak yang kupanaskan untuk menggoreng martabak mie sudah mendidih.

Belum lagi menyadari kondisiku yang sangat berantakan.  Masih memakai baby doll longgar warna hijau pudar, rambut diikat sekenanya dan campuran tepung dan telur sukses menghiasi ujung-ujung poniku yang dipotong tak rata.  Satu kata, kacau!

Kemudian aku berjingkat ke depan, membuka pintu, lalu melongok hanya dengan separuh wajahku saja sambil berteriak,”Masuklah! Aku mandi dulu.”

Tanpa menunggu dia masuk, aku sudah berlari ke dapur, menyelesaikan ritual memasakku yang tertunda. Yang tentu saja, tak akan berakhir sesuai rencana.  Dan 30 menit kemudian, akhirnya ritual memasak itu selesai (terpaksa dihentikan, sebenarnya).

“Kita mau kemana?” tanyaku setelah wangi, sehabis mandi dengan sabun beraroma greentea.

“Di rumah saja.”

Eh tunggu, di rumah saja?? Lalu kenapa tadi aku mesti buru-buru?

“Masak apa?” tanyanya, sambil ekor matanya melirik ke arah meja makan. Jika sudah begitu, dia pasti akan meminta icip hasil memasakku.  Lain kali mungkin, iya.  Tapi, kali ini aku benar-benar berharap kami makan di luar saja.

“Makan di luar saja yuk!” aku, nyaris memohon.

Tapi.. tapi.. dia kembali mengeluarkan jurus andalannya.  Jurus yang membuatku klepek-klepek dibuatnya. Iyaaa… tatapan matanya itu.  Duuuh.

Akhirnya, lagi-lagi aku mengalah. Mengambilkannya beberapa martabak mie (yang gagal) tanpa nasi. Dan sebotol kecil saos cabe. Aku memperhatikannya makan dengan perut mulas bukan main.  Bukan apa-apa, hanya tegang.

“Lain kali kalau masak jangan buru-buru.  Tengahnya belum mateng.”

Sungguh, saat itu jika aku sedang memegang sapu, pasti sudah kupukul kepalanya.  Aku buru-buru salah siapa?

---

Toko buku

Aku melihatnya! Diantara rak-rak buku. Di tangannya sudah tergenggam beberapa buku. Berbagai judul. Kesemuanya, novel.  Tumben.

“Maaf telat. Sudah lama? Itu buku banyak banget mau dibeli semua? Tumben nyungsep di rak novel?” aku yang baru datang sudah memberondongnya dengan banyak pertanyaan. Dia, seperti biasa, hanya tersenyum lalu merangkul pundakku.

“Untukmu, semuanya,” katanya tiba-tiba.  Aku tentu saja bingung.

“Buat temani kamu.”

Aku mulai merasa ada yang salah. Ada yang dia sembunyikan.

“Besok aku berangkat.  Ke Banjarmasin”

Seingatku, beberapa hari belakangan ini dia tak pernah membicarakan apa pun, apa pun tentang Banjarmasin. Lalu apa hubungannya dengan buku-buku itu? Bukankan wira-wiri Banjarmasin sudah hal biasa.  Lalu kenapa mesti membelikanku buku sebanyak itu, dan dia bilang untuk menemaniku?

“Tak tahu kapan kembali.  Jangan menunggu.”

Entah ada berapa kerut di keningku.  Aku benar-benar tak mengerti.

“Pernikahanku, sebentar lagi.”

Jangan tanya perasaanku, jangan pernah tanyakan akan hal itu. Jangan tanya apa pun. Apa pun. Yang kuinginkan saat itu hanya tidur.  Ya, tidur.

--

Published: 31 Juli 2009

“Aku bertemu dengannya, gadis itu, di taman kota, dia tengah tertawa, tenggelam bersama buku yang dia baca. Aku tak mengerti apa, kenapa. Yang aku inginkan saat itu adalah duduk di sebelahnya. Menemaninya tertawa. Itu saja. Tak lebih. Karena di sana, jauh di sana seseorang menunggu hari untuk pernikahannya, denganku.” – Raka blog’s –

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline