Lihat ke Halaman Asli

Secuil Mimpi yang Terwujud

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12894487011449632251

Banyak orang yang menyepelekan mimpi, namun tak sedikit pula yang mengagungkannya. Mimpi atau impian seseorang kadangkala nampak tidak relistis atau mengada-ada. Misalnya saja ingin punya rumah sedangkan untuk saat ini cari makan saja susah. Ingin keliling dunia, padahal desa sebelah rumah tak tau namanya, mana suka bingung nentuin mana timur mana barat. Namun, meskipun demikian,  sering kali impian menjadi pecut semangat untuk meniti hidup, hidup yang lebih baik tentunya.

Dulu sewaktu saya masih sekolah TK, saya ingin jadi polwan. Untungnya sewaktu SD saya segera menyadari kalau tubuhku tak tinggi, awet cilik kalau kata Bapakku. Lantas saya mengubah mimpi saya untuk menjadi guru. Mimpi ini bertahan rumayan lama, mengetahui untuk jadi guru tak harus tinggi. Hingga akhirnya lulus SMA saya punya keinginan yang kuat untuk kuliah, ah namun hal itu tak dapat terwujud. Orang tua meminta (dengan sedikit memaksa) untuk mengurungkan niat itu dan membantu meniupkan pundi-pundi ekonomi yang memang sering kali kempes. Apa daya? Saya bukanlah seorang yang pintar-pintar amat sehingga mampu mendapatkan bea siswa.

Saat cari kerja pontang panting susahnya minta ampun, sempat terlintas di benak saya. Jika aku punya uang banyak, aku ingin membuka lapangan pekerjaan. Minimal bisa membatu orang-orang yang senasip ataupun yang kurang beruntung dariku untuk bisa mendapatkan kerja.

Keinginan itu semakin menguat saat saya mendapatkan pekerjaan menjadi seorang operator warnet di kota pahlawan. Saya sering kali ditanyai oleh banyak orang di kampung, baik saudara maupun tetangga tentang lowongan pekerjaan. Beberapa orang memang sempat saya boyong ke Surabaya, karena memang sedang ada pekerjaan yang kiranya cocok dengan mereka.

Saya jadi kembali berandai-andai, bukan untuk menjadi jutawan, melainkan bagaimana agar saya bisa memiliki usaha sendiri dan mampu memberikan manfaat, minimal inspirasi untuk mereka para pemuda di kampung. Agar mereka tak hanya menghabiskan waktu mereka di warung kopi sambil main billiard, sedang orang tua mereka panas-panasan di sawah.

Kalau dipikir-pikir, berapa sih gaji seorang operator warnet? Paling juga lebih gedean gaji tukang kebun di sekolah SD. Yah itu memang benar, namun karena ada impian besar yang sudah tertanam di sanubari semua pasti akan ada jalan.

Gayung bersambut, seseorang menawariku modal untuk membuka warnet sendiri. Bagiku modal yang beliau tawarkan tidaklah sedikit, bisa bertahun-tahun lamanya jika aku mengumpulkan gajiku. Aku yakin, bahwa ini adalah jalan yang ditunjukkan Allah padaku. Ada seribu jalan keluar jika kita yakin.

Dengan susah payah dan menunggu beberapa minggu, akhirnya aku diizinkan juga resign dari warnet yang selama 2 tahun memberiku banyak pembelajaran. Aku diberikan wewenang penuh atas usaha yang baru ini, mulai dari sewa tempat, pemasangan listrik, pembelian komputer sampai instalasinya. Senang? Iya tentu saja, namun tak hanya sebatas senang lantaran kini di pundakku ada segunung tanggung jawab yang harus aku emban.

Ngecat tembok warnet

Hari ini, hari pertama warnet yang kuberi nama Sekawan.net buka. Semoga dengan jalan ini aku mampu menunjukkan pada kawan-kawanku, sahabat-sahabatku yang masih bergelut dengan warung kopi dan billiard bahwa dunia itu luas, begitu juga dengan kesempatan untuk maju. Dan tidak lantas menyerah saat satu surat lamaran pekerjaan kita ditolak bahkan disentuh pun tidak oleh suatu perusahaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline