Namun kebahagiaanku tak berlangsung lama dan bergantikan nestapa yang tak kunjung usai. Dan itu semua disebabkan oleh Ibuku, dia menghancurkan semua yang kupunya. Harapanku, keluargaku, masa depanku, cita-citaku dan menghancurkan persahabatanku dengan mereka. Ibuku menjadi pengkhianat. Aku tak sudi punya Ibu seperti dia!!
Semua itu berawal dari ocehan para tetangga di setiap teras mereka. Dimana para ibu-ibu itu berkumpul, disana cerita yang membuat kuping panas itu pun diangkat sebagai temanya. Bahkan di warung-warung kopi pun, para bapak-bapak tak kalah hangat memperbincangkannya. Aku tak ingin mendengarnya, tapi aku punya telinga. Aku tak ingin sakit hati atau pun marah pada mereka, tapi aku punya hati.
Awalnya aku tak percaya dengan segala angin busuk yang menyeruak ke penjuru desa. Aku tak percaya dan aku tak terima. Bagaimana mungkin mereka berkata Ibuku bermain cinta dengan lelaki yang bukan mukhrimnya? Sungguh aku tak pernah melarang Ibuku untuk mencari pengganti Ayah. Aku tahu setiap wanita butuh belaian dan cinta dari pasangan. Dan Ibu tahu itu. Jadi jika ia memang mengingkan untuk menikah lagi, pasti dia akan membicarakannya dengan kami, anak-anaknya.
Hingga suatu petang, kami berkumpul di ruang keluarga. Mencoba menjalin komunikasi yang belakangan ini agak tersendat karena aku sedikit tak ramah. Marah. Tapi aku harus tahu yang sebenarnya. Aku tak ingin tersiksa batin karena melihat tatapan berbeda dari para tetangga atau dari sahabat-sahabatku sekali pun. Aku tak tahan lagi, dan aku ingin mengakhiri. Membuktikan pada mereka bahwa mereka semua salah. Mereka semua hanya memfitnah.
Suasana hening, dingin, dan hampa. "San,.. Ndak usah mendengarkan perkataan orang di luar sana!" "Bagaimana aku tak mendengar, jika di toko, di warung, di arisan-arisan mereka tak henti membicarakan itu semua?" "Tak usah pergi kemana-mana, biar nanti Ibu saja yang pergi jika memang ada keperluan untuk ke luar." "Tapi apa yang mereka katakan semua bohong kan Bu?" "Kamu harus percaya pada Ibumu ini, meski Ayahmu telah tiada, aku masih tetap mencintai dan setia padanya."
Aku tersenyum bahagia mendengarnya, jelas perkataan itu bagai ombak yang meleburkan karang kemarahanku. Aku lega, bagai sebuah batu hitam besar nan kokoh di hatiku lenyam mendengar itu. Aku memeluknya dan menangis dalam pelukannya. Dalam hatiku aku tersenyum kecut mengingat para tetanggaku itu. Mereka mungkin hanya ingin menjatuhkan kami, meluruhkan keluarga kami yang tak lagi utuh.
"Apakah mereka melakukan itu karena aku tak lagi punya Ayah, Bu?" Ibuku tak menjawab, hanya tersenyum.
Semenjak itu, aku menjalani hariku seperti biasa. Aku menganggap angin tak sedap itu sebagai angin lalu. Namun itu tak berlangsung lama. Tatapan curiga dan penuh kebencian semakin nyata adanya. Hari-hari semakin sulit kuterjemahkan, tatapan mereka tak lagi sama, tak lagi ramah. Sapaan mereka gamang. Sekedar pura-pura. Senyuman mereka ada, tapi guratan air mukanya tak menandakan kesejukan di sana.
[caption id="attachment_196554" align="alignleft" width="225" caption="http://citizenimages.kompas.com"][/caption]
Aku mulai curiga. Ibuku sering sekali terjaga dari tidurnya setiap malam dia mengendap-endap pergi ke belakang. Awalnya aku mengira kalau dia pergi untuk ke kamar mandi, namun ternyata aku salah. Hingga suatu malam, saat aku melihatnya terjaga dan pergi menuju pintu belakang aku diam, pura-pura tidur. Saat Ibuku melewati pintu dan menutupnya kembali, aku bangunkan adikku. Kami memang sudah menyusun rencana sehari sebelum malam itu. Jika kami temui seorang pria asing di dalam pekarangan rumahku, bersama Ibuku. Kami -aku dan adikku- akan membunuhnya.