Lihat ke Halaman Asli

Di Balik Ketegaranku, Aku Rapuh (1)

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pernikahanku hanya tinggal menghitung hari. Ini sebuah keputusan yang tak mudah untuk diambil. Saat mengingat setiap lembar kehidupanku, air mata tak pernah mampu kebendung, aku rindu Ayahku. Begitu juga saat menerawang sedikit jauh ke depan. Akankah Ibu yang melahirkanku, yang pernah memanjakanku hadir dalam pernikahanku nanti?

Senja mulai menguning meninggalkan sisa-sisa biru di ufuk timur. Burung-burung emprit bercicit-cuit di ranting pohon belimbing belakang rumah. Sekelebat bayangan kawan timbul tenggelam dalam ingatan. Sepoci es teh dihidangkan bersama dengan  selayah bumbu rujak belimbing juga mangga. Krupuk rambak pun siap memeriahkan minggu yang ceria.

"Nopy bagian yang beli gula merahnya ya! Trus Arum yang beli krupuk sama es batunya! Nina bagian yang ngupas buah dan buat bumbu rujaknya! Wati kamu yang bagian buang sampah plus nyuci perabotan yang dipakai nanti!" teriakku pada kawan-kawanku. "Trus kamu ngapain??" teriak mereka bagai sedang melakukan koor. "Akukan sudah siapin buah-buahan, layah, ulek-ulek dan tempatnya! Jadi pas donk!!" kataku sambil melenggang pergi menonton TV.

Rujakan adalah ritual kami setiap Minggu siang. Tapi jarang sekali ritual ini dilakukan di rumahku, padahal rumahku tergolong paling bagus diantara rumah mereka. Paling bersih, juga banyak buah-buahan yang bisa tinggal petik. Mungkin mereka merasa tidak nyaman di rumahku karena ada Ayahku. Padahal ayahku adalah ayah yang baik. Setiap permintaanku selalu diturutinya. Kawan-kawanku belum pernah makan martabak, aku sudah. Kawan-kawanku belum pernah naik mobil, aku sudah. Kawan-kawanku belum pernah pegang HP, aku sudah. Ah jangankan untuk memegang, melihat pun mungkin mereka belum pernah. Aku tidak sombong, tapi itulah kenyataannya.

Kami -kakak dan adik lelakiku- selalu dimanjakan oleh ayah dan ibuku. Tapi aku merasa akulah anak yang paling disayang mereka. Buktinya, setiap kali aku bertengkar dengan kakak ataupun adikku, Ayahku selalu saja membelaku. Mungkin karena aku adalah anak perempuan satu-satunya. Hidupku selalu wah, teman-temanku juga senang padaku. Dan mereka dengan senang hati melakukan apapun yang kumau.

Roda kehidupan terus berputar. Ayahku sakit kencing manis. Tiga bulan lamanya Ayahku berbaring di kamar yang serba putih. Ekonomi keluargaku bagai macet tanpa peran serta Ayah. Apalagi biaya Rumah Sakit yang selangit. Kakakku satu-satunya yang menjadi pahlawan keluarga. Dia bekerja siang malam untuk memenuhi tuntutan biaya Rumah Sakit juga makanku di rumah. Ibuku tak pernah pulang, hanya duduk terpaku disamping ranjang Ayah di rumah sakit.

Aku merasa aneh dan asing dengan kehidupanku sendiri. Aku harus memasak untuk makan aku dan adikku. Sedang aku tak pernah sedetik pun belajar memasak. Tarian masakan ibu di dapur sudah bisa memanjakan selera lidahku. Tak ada lagi yang menanyaiku hari ini ingin dimasakin apa? Justru adikku yang bertanya, hari ini kita makan apa Mbak? Remuk redam rasa hatiku. Sesekali temanku datang mengajak berbagi cerita dan canda. Aku tahu mereka ingin menghiburku. Tapi aku tak inginkan itu. Aku malu pada mereka!

Siang itu tangisku meledak, para tetangga datang untuk melayat mesti tak ada jenazah di rumahku. Aku menangis sejadi-jadinya sesaat mendengar kepergian Ayahku untuk selamanya. Pergi meninggalkanku, Ibuku, kakak juga Adikku, tanpa sebuah cita yang disematkan di dadaku. Dia pergi. Pahlawan hatiku, lentera jiwaku pergi. Kembali menapaki kehidupan di sisi Illahi.

Beberapa jam setelah berita itu, sirine ambulan meraung-raung memenuhi sudut desa. Orang berbondong-bondong datang untuk melayat. Kulihat Ibu dan Kakakku terkulai lemas di samping jenazah Ayahku. Aku mencoba berdiri dan tegar. Kusambut tubuhnya yang tak bernyawa itu. Kukecup keningnya. Kuelus pipinya. Dan menggenggam erat jemarinya. Jemari yang pernah membelaiku dengan lembut. Dan tangannya yang kokoh, yang pernah mengangkat tubuhku dalam dekapannya. Hangat dekapan seorang Ayah. Kini itu semua tak bernyawa tak bergerak.

"Ya Allah…… kenapa kau ambil Ayahku? Kenapa Tuhan? Bukankah masih banyak orang di luar sana!! Kenapa Ayahku yang Kau pilih??" Aku berteriak di samping telinga Ayahku, tak mampu menahan segala kekecewaanku pada Tuhan.

Orang-orang segera menarik lenganku untuk menjauh dari jenazah Ayahku, tapi aku berontak. "Ini adalah Ayahku!! Kenapa kalian ikut-ikutan Tuhan untuk memisahkan kami??"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline