Lihat ke Halaman Asli

Cerita Latifa "Bundaku TKW & Ayahku Penjudi"

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Namaku Latifa, teman-temanku memanggilku Ifa. Aku gadis berusia 13 tahun dan suka mamakai kerudung berwarna biru muda. Aku adalah anak tunggal dari Bunda bernama Rahayu dan Ayah Suherman. Aku tinggal bersama ayahku saja, karena bundaku memilih menjadi TKW di Malaysia. Sesekali aku menginap di rumah Uti dan Kung ku yang rumahnya satu kecamatan namun beda Desa.

Sosok Bundaku Beliau adalah seorang Bunda yang tegar dan keras, meskipun sering sekali bertengkar dengan Ayah, sesering itu juga bundaku yang menang meskipun kemudian dia terisak, bersembunyi di kamar mandi atau dibalik bantal. Ia pernah bekerja sebagai kuli bangunan, menjinjing adonan pasir dan mengirimnya ke Pak Tukang. Dia juga sangat keras dalam mendidikku, sering sekali pahaku dicubitnya jika aku melakukan sesuatu yang menurutnya salah. Namun aku sangat menyayanginya, karena didalam keterbatasan, dia selalu saja berusaha memberikan apa yang aku inginkan, terutama ice cream!! :)

Ayahku Sedikit malu jika membicarakan ayahku, tapi bagaimanapun dia tetaplah ayahku. Dia sering sekali mabuk-mabukan dan berjudi. Sering pulang malam dan tiap itu juga pertengkaran hebat akan terjadi. Aku? hanya ketakutan dibalik bantal dan gulingku. Entah berapa kali kulihat ayah memukul bahkan sampai meludahi Bundaku, yah didepanku. Dan tanpa menyesal sedikitpun, dia berlalu. Kadang aku membencinya, namun aku menyayanginya. Dialah ayahku, ayah kandungku.

Ketika umurku 8 tahun itulah Bundaku pergi meninggalkanku, bukan meninggalkan seutuhnya, dia pergi mencari uang untuk mengubah hidup kami tentunya. Jika hanya mengandalkan hasil jerih ayah yang kadang kerja kadang nganggur namun sering ngangurnya itu, kita tak akan pernah berubah katanya. Entahlah, hanya saja waktu itu aku belum begitu paham apa yang di bicarakan Bundaku. Sambil memelukku, dia berkata,"nak, bunda tinggal ya! gak akan lama, sebentar saja nanti jika pulang bunda bawakan ice cream yang banyak!" Terang saja aku berlonjak dan mengiyakan,"tapi kenapa nangis, bunda?" "Nanti jangan nakal ya sayang, jangan suka nangis! tapi kalo ayah masih suka pulang malam kamu boleh nangis dan berteriak!" berkata dalam isak sambil memelukku!

"Ayah, kenapa bunda belum pulang? katanya cuma sebentar?"tanyaku pada ayah. "Kamu dibohongi, bundamu pulangnya akan lama!" "Ayah bohong!!" kataku mulai panik. Siang berganti malam, namun bundaku tak kunjung pulang. "Bunda, Ifa kangen!!" Ketika tetanggaku datang tergopoh-gopoh sambil membawa HP dan berkaya,"Ifa, ini bundamu telpon!!" Langsung saja aku berlari dan menangis sejadi-jadinya, kusumpah serapahi bundaku yang telah membohongiku. Ku bilang padanya, tak ada yang mau menemaniku belajar, mengerjakan PR, mengaji, rapotku tak lagi mendapat rangking 1. Aku menangis sambil terus mengomel semampuku. "Ambillah buku dan pensil, tulis setiap apa yang kamu kerjakan, tulis siapa saja yang menyakitimu, tulis jika ayahmu sedikit saja membentakmu, tulis semua yang kau rasakan anakku, jangan mengeluh!"

Kehidupanku mulai berubah, Bunda sering mengirimkan uang melalui rekening Ayahku. Aku sering beli baju baru, aku punya TV baru, punya DVD, punya banyak barang-barang baru. Tapi uang yang dikirim Bundaku lebih masuk ke meja judi ayahku.

Tiga tahun berlalu, suka citaku begitu menggebu saat mengetahui kabar bundaku akan pulang. Aku sudah kelas 5 sekarang. Rambutku kubiarkan panjang, yah aku terlihat cantik meskipun kurus kerontang. Kusambut bunda di bandara Juanda bersama beberapa keluarga. Hmm… Bundaku tampak cantik, tapi juga terlihat kurus. Oh bunda, apa kerjamu juga berat di Malaysia sana?

Sehari kepulangannya tak ada sedikitpun senyum di wajahnya, pertengkaran hebat bagaikan di neraka. Bunda tahu, uang yang dikirimnya tak tersisa dan  tak berupa. Entah kemana uang-uang itu Ayah alokasikan.

Aku, rasanya ingin mati saja. Atau ingin lari kemana saja asalkan tak melihat lagi mereka bertengkar. Hal yang sangat ku takuti adalah melihat mereka beradu mulut dan tak jarang gelas dan perkakas lainnya beterbangan.

Hidupku semakin tak jelas, ketika Bunda memutuskan untuk kembali ke Malaysia dan meninggalkanku begitu saja. Beberapa keluarga memintaku untuk tinggal bersamanya, tapi aku ingin tetap bersama Ayahku, mencoba mengingatkannya, dan membuatkannya kopi di pagi buta.

Kini, usiaku 13 tahun, namun Bundaku belum kembali ke Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline