Aku akan bercerita tentang pengalaman pertamaku bertatap muka langsung dengan mantan kepala pelayan masyarakat Kota Yogyakarta, Bapak Herry Zudianto. Dan bagaimana sosok tersebut dapat membuatku tergerak untuk menjadi pelajar yang antikorupsi.
Sebelumnya, di suatu pagi yang cerah, pada pertengahan tahun 2011, aku bersama 3 orang temanku berkumpul di halaman depan sekolah dengan mengenakan seragam pramuka lengkap.
Pada saat itu, kami didapuk untuk menjadi perwakilan sekolah dalam memenuhi undangan sebuah acara yang diadakan oleh salah satu organisasi kemanusiaan.
Acara tersebut berlokasi di Monumen Serangan Umum 1 Maret Yogyakarta. Kami pun berangkat menuju lokasi acara hanya dengan berjalan kaki karena jarak tempuh yang relatif dekat. Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan seorang nenek renta penjual peyek kacang. Ia mengenakan pakaian yang sangat sederhana dan terlihat lusuh.
Alas kakinya pun hanya sandal jepit sederhana yang sudah usang dan tepos. Nenek penjual peyek kacang tersebut kemudian menghampiri kami. Dengan mimik muka setengah memelas, ia menawarkan peyek kacang seharga 5000 rupiah per bungkus. Peyek kacang yang ditawarkan kepada kami terbungkus rapi dalam kemasan plastik dan tampak masih menumpuk penuh di dalam keranjang kecil yang ia jinjing, mungkin karena belum ada satupun yang laku terjual.
Di saat nenek renta tengah menawarkan dagangannya, ada satu temanku yang spontan mengajak aku dan yang lain untuk tidak menggubris nenek renta penjual peyek kacang tersebut. Aku dan teman-temanku pun kemudian melanjutkan perjalanan dengan hanya memberikan respon senyuman kepada nenek renta tersebut.
Entah apa yang ada dipikiranku saat itu dengan tidak memedulikan dan membantu melarisi dagangan nenek renta penjual peyek kacang, padahal saat itu aku membawa uang yang lebih dari cukup. Uang yang berhasil aku dapatkan dari hasil menjuarai lomba menulis essay beberapa hari sebelumnya.
Sesampainya di Monumen Serangan Umum 1 Maret, kami berempat langsung mencari tempat duduk paling depan agar bisa leluasa memantau jalannya acara. Beberapa saat kemudian acara pun dimulai. Pembawa acara kemudian menyerukan sebuah nama yang sudah tidak asing di telingaku. Nama tersebut ditugasi untuk memberikan kata sambutan dari atas mimbar.
Benar saja, orang yang dimaksud oleh pembawa acara adalah sang kepala pelayan masyarakat kota Yogyakarta pada saat itu, Bapak Herry Zudianto. Aku pun semakin terkesiap tatkala Pak Herry berjalan menuju panggung yang hanya berjarak beberapa meter di depanku. Ia terlihat gagah dan berwibawa dengan mengenakan pakaian seragam dinas berwarna cokelat.
Itulah momen pertamaku melihat secara langsung dengan mata kepalaku sendiri sosok walikota Yogyakarta yang selama ini aku idolakan, yang selama ini hanya bisa aku lihat melalui kalender cetak dan melalui internet saja. Setelah acara dinyatakan selesai, hal yang telah kuduga sebelumnya benar terjadi. Puluhan peserta pelajar lain langsung berbondong-bondong menghampiri Pak Herry untuk meminta foto bersama dengannya.
Antrean Panjang pun dimulai bersamaan dengan perasaan deg-deganku yang semakin bergejolak karena one step closer berada di samping sang idola. Setelah menunggu beberapa antrean dalam perburuan subjek foto langka nan menarik tersebut, akhirnya aku mendapati giliranku berdiri persis di samping Pak Herry. Dengan sigap aku langsung meminta pria tampan berkacamata itu untuk foto bersamaku berdua saja.