Rumah sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna yang komprehensif berupa penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit preventif kepada masyarakat. Rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan bagi tenaga Kesehatan dan pusat penelitian medik, di rumah sakit juga banyak terdapat fasilitas-fasilitas pelayanan salah satunya yaitu fasilitas radiologi (WHO, 2017).
Radiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang proses pembuatan gambar (radiografi) dan organ tubuh manusia dengan menggunakan radiasi sinar-X sebagai sumber pencatat gambar. Pada pemeriksaan radiologi hasil gambaran akan sangat membantu dalam hal mendiagnosa suatu penyakit yang diderita oleh manusia (Finzia & Ichwanisa, 2017). Sedangkan Sinar-X merupakan pencaran dari gelombang elektromagnetik yang sejenis dengan gelombang radio, panas, cahaya, dan sinar ultraviolet, tetapi dengan gelombang yang sangat pendek.
Sinar-X mempunyai sifat heterogen serta memiliki Panjang gelombang yang bervariasi dan tidak terlihat. Perbedaan sinar-x dengan sinar elektromagnetik lainnya juga terletak pada Panjang gelombang (Standford University, 2017). Tentu tidak hanya dengan pemanfaatan sinar-x saja, namun terdapat penunjang yang membantu sinar-x dapat dipancarkan dengan baik seperti modalitas pesawat sinar-x.
Semakin bertambahnya zaman teknologi semakin berkembang pesat. Beberapa teknologi memiliki pembaruan berbeda-beda, seperti halnya modalitas radiologi yang menunjang pembuatan citra radiografi. Di dalam rumah sakit pemanfaatan ilmu radiologi bisa kita liat pada fasilitas Radiologi-nya, yaitu beberapa modalitas untuk menghasilkan gambaran citra, seperti pesawat sinar-x, mammografi,chest bucky, dan modalitas lainya. Tidak hanya pada modalitasnya saja, cara memproyeksikan pada teknik pemeriksaan pasien juga tergantung pada keterampilan Radiografer dalam upgrade ilmu-nya.
Meskipun Radiografer mendapat bekal pembelajaran untuk Teknik pemeriksaan seperti pemosisian pasien dan tube sinar-x, namun untuk beberapa kasus terkadang Radiografer dituntut untuk mengimplementasikan keterampilanya supaya hasil citra radiografi dapat menunjukkan diagnosa yang jelas. Tentu dengan pertimbangan dosis pasien yang di sarankan harus serendah mungkin. Hal ini dapat kita lihat pada kasus yang ada di RSUD K.R.T Setjonegoro Wonosobo.
Singkatnya radiografer disana hanya melakukan 2 proyeksi saja pada pemeriksaan klinis abdomen akut pneumoperitoneum. Teknik yang digunakan yaitu Antero Posterior (AP) Supine dan Left Lateral Decubitus (LLD). Sedangkan diketahui bahwa Teknik pemeriksaan abdomen dengan kasus pneumoperitoneum umumnya menggunakan 4 proyeksi yaitu proyeksi Antero Posterior (AP) Supine, Antero Posterior (AP) Tegak, Antero Posterior (AP) Chest Tegak dan Left Lateral Decubitus (LLD).
Alasan Radiografer RSUD K.R.T Setjonegoro hanya melakukan 2 proyeksi, karena mereka merasa dengan 2 proyeksi tersebut sudah bisa untuk mendiagnosa penyakit pasien pneumaperitoneum dan menghemat tarif yang ditarik ke pasien nantinya. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang ada dan perintah dari dokter spesialis radiologi, karena dokter tersebut juga meminta untuk dilakukan dengan 4 proyeksi. Jika dengan dalih hemat tarif, seharusnya dilakukan dengan 3 posisi pemeriksaan yaitu proyeksi Anterior Posterior (AP) Tegak, Left Lateral Decubitus (LLD), serta menggunakan Anterior Posterior (AP) Chest Tegak.
Karena pada kasus pneumoperitoneum sendiri adalah adanya udara bebas atau gas dalam rongga peritoneal. Sehingga apabila dilakukan pemeriksaan radiologi dengan menggunakan ketiga posisi diatas, akan diperoleh hasil citra yang sangat akurat dalam menggambarkan kondisi abdomen pada tubuh pasien yang sesuai dengan indikasi penyakitnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H