Lihat ke Halaman Asli

Fauzi Raziani

Mahasiswa

Menilik Kepopuleran Kuliner Nusantara dalam Arus Globalisasi

Diperbarui: 26 Juni 2023   17:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Input Ilustrasi BTS Meal. Sumber: cerdasbelanja.grid.id

Kuliner merupakan salah satu bentuk identitas dan budaya suatu bangsa. Dengan mencicipinya, kita bisa menebak dari mana masakan ini berasal atau setidaknya orang mana yang menyajikan hidangan tersebut. 

Cita rasa yang dihadirkan oleh olahan kuliner dari berbagai daerah pasti beragam. Bahkan karakteristik masakan dari masing-masing daerah juga beragam, seperti Sumatera Barat yang dikenal banyak menggunakan santan dan daging, dan memiliki rasa pedas dari penggunaan bumbu dan rempah-rempah. Berbeda dengan masakan khas dari Jawa Tengah misalnya yang terkenal dengan rasa manisnya. Semua keberagaman yang tercipta dari kuliner-kuliner tersebut sangatlah kaya, dan hanya sedikit negara yang beruntung mempunyai kekayaan rasa yang beragam. Pertanyaannya adalah, dari semua kekayaan dan keberagaman yang kita punya, masihkah kita mencintai kuliner bangsa kita sendiri?

Dinamika arus globalisasi memang tidak bisa kita pungkiri dampaknya. Kita tidak bisa melawan arus tersebut, ataupun terseret hanyut kemanapun arus tersebut mengalir. Banyak hal positif yang mampu kita dapat dari globalisasi seperti sarana informasi dan timbulnya rasa toleransi dalam melihat perbedaan di dunia ini. Namun, menerima kebudayaan bangsa lain dalam rangka toleransi haruslah didasari oleh kokohnya prinsip kebangsaan atas kebudayaan sendiri sebagai bangsa Indonesia. 

Sayangnya hal ini tidak terpatri pada setiap anak bangsa yang terbawa arus globalisasi, seakan taman kebudayaan bangsa lain lebih hijau baginya. Dalam hal kuliner, dewasa ini masyarakat Indonesia lebih tertarik dengan fast food dan kuliner khas Korea Selatan, terutama bagi kaula muda. Hal ini terlihat dari data Google's "Year in Search 2021" yang menunjukkan bahwa BTS Meal menjajaki peringkat nomor 3 dalam pencarian terbanyak di tahun 2021 oleh masyarakat Indonesia. Dari data tersebut, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia lebih memilih cita rasa asing dibanding lokal, namun kita dapat melihat betapa besar ketertarikan masyarakat pada budaya asing yang sedang tren dan hype.

Hal ini harus menjadi pembahasan serius karena menyangkut dengan budaya kuliner lokal yang dalam beberapa generasi ke depan akan terancam eksistensinya. Langkah pertama yang harus kita lakukan adalah dengan mencintai kuliner bangsa yang dari segi rasa dan kualitasnya dapat menyaingi kuliner-kuliner asing. Contoh saja tempe, yang merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia sejak ribuan tahun lalu. Tempe mempunyai banyak kandungan nustrisi yang setara dengan daging sapi dan bahkan lebih tinggi dari daging kambing, menunjukkan bahwa tempe bukan makanan khas bangsa yang tidak dipandang sebelah mata. 

Jika dibandingkan dengan burger yang notabenenya adalah junk food manakah yang lebih baik? Jelas tempe kita jawaranya. Namun, mental bangsa kita yang didominasi oleh rasa inferioritas atas bangsa-bangsa lain (khususnya Barat) menjadikan value kuliner lokal menjadi menurun, salah satu sebabnya adalah pengaruh bangsa lain tentang standar kemewahan dari makanan yang mereka bawa ke negeri ini atas dasar komersil.

Pemerintah mempunyai peran penting dalam hal ini. Bagaimana menjadikan kuliner lokal digemari oleh penduduknya sendiri dengan cara mempromosikannya lewat sarana hiburan misalnya. Kita dapat mencontoh Korea bagaimana mereka mempromosikan budaya mereka termasuk kuliner ke dalam konten-konten hiburan mereka. Efek dari dominasi Hallyu atau Korean Wave di mancanegara secara dramatis mengangkat derajat kebudayaan Korea pada taraf internasional, yang berarti para penikmatnya bukan hanya penduduk Korea, namun juga masyarakat internasional. Fenomena yang seperti ini patut ditilik lebih dalam, apakah pemerintah Korea gencar menyebarkan budaya mereka setelah masyarakat Korea sudah mulai mencintai budaya mereka sendiri, atau ini justru merupakan upaya dalam menimbulkan rasa cinta dan bangga pada masyarakat Korea atas budaya mereka sendiri. Apapun itu, yang dapat kita pahami adalah pentingnya upaya pemerintah dalam mempromosikan budaya bangsa dengan cara yang relevan dengan perkembangan zaman.

Seberapa familiar kuliner suatu daerah dengan daerah yang lain?

Pertanyaan ini muncul karena status masyarakat Indonesia yang heterogen dan mempunyai berbagai jenis kuliner di tiap daerah. Dalam hal ini kami melakukan survey wawancara kepada 11 orang narasumber yang merupakan penduduk asli pulau Sulawesi. Tujuan dari survey ini adalah untuk menemukan jawaban dari pertanyaan di atas dengan melihat kecocokan lidah masyarakat Sulawesi terhadap kuliner yang berasal daerah lain. Kami mengambil sampel masakan khas Minangkabau yang terkenal dengan rumah makan Padang-nya, dan masakan khas Jawa yang terkenal dengan warteg-nya.

Keseluruhan mengatakan bahwa masakan Padang sangat cocok bagi lidah mereka. Bagi mereka, bumbu atau rempah yang digunakan dalam penyajian masakan Padang tidak berbeda jauh dengan kuliner khas mereka di pulau Sulawesi khususnya di kota Makassar. Walaupun ada satu orang narasumber yang merasakan ketidakcocokan dengan masakan Padang, namun hal itu hanya sementara karena juga dipengaruhi oleh adaptasi pencernaan. Para narasumber setuju dengan cita rasa masakan Minangkabau yang universal bagi lidah semua orang. Sama halnya dengan tanggapan mereka terhadap kuliner khas Jawa. Dari 11 orang narasumber, terdapat 1 orang yang belum pernah merasakan makanan warteg dan 1 orang yang benar-benar tidak cocok dengan makanan khas Jawa. Dari angka ini, dapat kita tarik benang merah bahwa kuliner Indonesia yang beragam, juga memiliki kecocokan cita rasa dan dapat dinikmati oleh mayoritas masyarakat khususnya di tiga pulau tersebut (Jawa, Sumatera, dan Sulawesi).

Dari sini kita dapat melihat toleransi kuliner pada lintas budaya di Indonesia sebelum nantinya diterima oleh masyarakat internasional. Artinya, tidak hanya bangsa dengan kebudayaan homogen saja seperti Korea yang dapat memberikan nuansa khasnya pada kancah internasional. Dengan semangat persatuan dan kebhinekan, kebudayaan Indonesia mampu bersinar sebagaimana budaya-budaya asing yang merembet ke negeri kita. Rasa inferioritas yang selama ini lengket pada masyarakat Indonesia harus dihilangkan. Dengan kuliner kita mampu menumbuhkan jiwa nasionalisme yang positif dan toleran, yang terbuka namun berpendirian.

Globalisasi dan peran pemuda

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline