Lihat ke Halaman Asli

Fauzi Nurhasan

wiraswasta

Pantaskah Hukuman yang Diterima Jero Wacik?

Diperbarui: 21 April 2016   11:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber:bali.bisnis.com"][/caption]

Beberapa tulisan terakhir saya di blog menyoroti kasus yang sedang menimpa Jero Wacik. Bermula dari rasa penasaran saya mengenai sosok yang selama ini dikenal sebagai salah satu tokoh politik yang berprestasi, saya pun menelusuri jejak prestasi yang pernah ditorehkannya saat menjabat sebagai Mentri Kebudayaan dan Pariwisata Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 1. Lalu, saya pun mulai mengenal sosoknya lebih jauh melalui kepribadiannya yang sederhana.Benarkah tuduhan yang ditimpakan kepada tokoh yang dikenal berkepribadian sederhana ini? Hingga saya pun menelusuri jejaknya lebih jauh ke tanah kelahirannya di Bali. Di sana, saya berhasil mendapatkan profile lebih gamblang mengenai kepribadian beliau yang dikenal jujur, selalu memegang komitmen, dan pekerja keras. Oleh-oleh saya dari Bali adalah mengenal sosok seorang tokoh politik ini lebih jauh.

Semua media, baik media offline maupun online, memberitakan bahwa pada 10 Februari 2016, Pengadilan Tipikor (Tindak PIdana Korupsi) memutuskan 4 tahun penjara , denda Rp 150.000.000, dan mengembalikan uang negara sebesar Rp 5M. Hukuman tersebut lebih ringan daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut Jero Wacik dengan hukuman 9 tahun penjara, denda RP 300.000.000,00 dan mengembalikan uang negara sebesar Rp 18,7 M. Setelah melakukan penelahaan mengenai kasus ini baik membaca berita di media online dan offline, lalu mengenal sosok Jero Wacik lebih jauh, rasanya tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum tidak masuk akal. Hal itu dikarenakan, pada persidangan semua tuduhan tersebut tidak terbukti kebenarannya. Menurut pendapat saya sebagai orang awam, jika seseorang tidak terbukti bersalah kenapa tetap harus dihukum walaupun hukuman itu lebih ringan daripada tuntutan jaksa?

Saya bukan ahli hukum, saya juga tidak faham mengenai masalah hukum. Namun, jika dipikir-pikir lagi, kenapa orang yang tidak bersalah harus dihukum? Apalagi di pengadilan, terbukti bahwa semua tuduhan itu tidak terbukti. Seharusnya, yang melakukan banding itu pihak yang dirugikan, yaitu orang yang terbukti tidak bersalah namun tetap mendapatkan hukuman. Apalagi namanya sudah rusak karena tuduhan tersebut padahal tuduhan itu tidak terbukti kebenaran.

Penetapan Jero Wacik sebagai tersangka sarat dengan muatan politik. Hal itu dikarenakan KPK menetapkan Jero Wacik sebagai tersangka tepat menjelang pelantikannya sebagai anggota DPR RI. KPK meminta KPU tidak melantik Jero Wacik dan mengabaikan prinsip praduga-tak-bersalah. Bahkan, melalui media massa dikabarkan bahwa Jero Wacik selalu hidup berfoya-foya dan suka memeras. Setelah saya telusuri kebenarannya dengan mengunjungi keluarga, saudara, dan teman-temannya di Bali, hal itu jauh dari kenyataan. Jero Wacik hidupnya sederhana dan selalu mementingkan kepentingan masyarakat.

Atas putusan Pengadilan Tipikor tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding dengan alasan keputusan hakim Pengadilan Tipikor jauh di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Dari beberapa kasus hukuman di pengadilan yang pernah saya baca dari berita, biasanya terdakwalah yang mengajukan banding karena merasa keputusan hakim tidak adil. Namun, di sini malah pihak Jaksa Penuntut Umum yang mengajukan banding. Padahal dalam pengadilan, Jero Wacik terbukti tidak melakukan semua pelanggaran yang dituduhkan. Seharusnya Jero Waciklah yang mengajukan banding karena tidak terbukti bersalah namun tetap mendapatkan hukuman.

Jero Wacik dituduh telah menyalahgunakan DOM Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata dan telah merugikan negara sebesar Rp 8,4 M. Setelah saya melihat wakil Presiden Jusuf Kalla memberikan kesaksian di sidang kasus Jero Wacik, saya menjadi lebih mengerti mengenai DOM. Ternyata DOM (Dana Operasional Mentri) memang disediakan oleh negara melalui DIPA/APBN untuk melancarkan tugas-tugas mentri. Pak JK menjelaskan bahwa DOM disediakan untuk Operasional Mentri dalam menjalankan tugas-tugasnya. Dana tersebut diberikan berupa lumpsum. Untuk pemakaian dana tersebut cukup kwitansi tanpa harus ada bon-bon pendukung. Penggunaan DOM sudah sesuai dengan Diskresi Mentri, tidak menguntungkan diri sendiri dan tidak merugikan keuangan negara karena itu adalah biaya operasional. Penggunaan dana DOM juga sudah sesuai prosedur dan tidak ada penyalahgunaan wewenang karena DOM merupakan wewenang dari negeri. Tuduhan pelanggaran ini tidak terbukti bersalah.

Setiap bulan dana DOM disediakan berkisar Rp 120.000.000,00. Saat akan meminta DOM untuk biaya operasional, Jero Wacik selalu bertanya terlebih dahulu, “Apakah dana DOM bulan ini ada?” Dari dana yang disediakan, Jero Wacik meminta antara 25 jt-50 jt, atau terkadang jika biaya operasionalnya tinggi meminta antara 100 jt -150 juta. Sementara ketentuan pengambilan dana DOM boleh lebih dari plafon 120 juta, asalkan tidak melebihi 80% total anggaran dalam satu tahun. Jika memang Jero Wacik ingin memperkaya diri sendiri dengan DOM, pastinya dia akan meminta dana besar setiap bulannya. Faktanya, Jero Wacik rata-rata minta antara 25 jt-50 jt. Sementara kegiatan operasional di Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata memang sangat besar.

Bahkan, Jero Wacik banyak menorehkan prestasi saat menjabat sebagai Mentri Kebudayaan dan Pariwisata. Salah satu prestasi Jero Wacik yang fenomenal saat menjabat sebagai Mentri Kebudayaan dan Pariwisata menurut saya adalah event Tour de Singkarak. Seperti kita tahu, event yang diadakan setiap tahun di Provinsi Sumatera Barat itu merupakan event internasional yang gaungnya sudah mendunia. Setiap tahun, negara-negara lain turut serta menjadi peserta balap sepeda yang rutenya menjelajahi keindahan pulau Sumatera dan garis finish di Danau Singkarak. Event ini sudah mendongkrak pariwisata di Sumatera Barat umumnya dan kota-kota di Sumatera Barat seperti Kota Padang yang dijadikan tempat sebagai garis start. Kebudayaan Minang pun semakin dikenal oleh dunia. Selain itu, pada masa kepemimpinannyalah, Festival Film Indonesia (FFI) dihidupkan kembali pada tahun 2004. Padahal sudah 12 tahun, yaitu sejak tahun 1992, FFI seakan mati suri. Dihidupkannya kembali FFI jelas saja menggairahkan dunia perfilman di Indonesia sehingga dunia sineas kembali hadir dan menghasilkan karya-karya yang bisa membuat harum nama bangsa.

Masih banyak prestasi Jero Wacik saat menjabat sebagai Mentri Kebudayaan dan Pariwisata yang membuat kita bangsa Indonesia dapat mempertahankan budaya warisan bangsa. Di Kementerian ESDM pun, Jero Wacik kembali menorehkan prestasi, di antaranya dapat memenuhi kebutuhan listri Indonesia dengna cara mendorong penyelesaian pembangkit-pembangkit listrik. Sejak tahun 2011 sampai dengan 2014 sudah berhasil meresmikan pembangkit listrik sebanyak 16.000 MW yang menghasilkan gerakan ekonomi Rp 576 triliun.

Jero Wacik ditahan dengan tuduhan melanggar pasal 12 E, yaitu pemerasan dana pada rekanan Kementrian ESDM (Kickback). Dari keterangan saksi di persidangan terbukti bahwa dana tempat menampung dana kickback sudah ada sejak tahun 2010. Sementara, Jero Wacik sendiri menjabat Mentri ESDM baru tahun 2011. Benarkah, Jero Wacik yang melakukan pemerasan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline