Lihat ke Halaman Asli

Fauzil Azhim

MAHASISWA

Dilema 2.000 Rupiah, Ketika Bayar Parkir Mengubah Pola Konsumsi Mahasiswa

Diperbarui: 10 Oktober 2024   10:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.ayobandung.com/netizen/799409429/tak-apa-ngekos-mahal-sedikit-yang-penting-nyaman-ini-manfaatnya

Fenomena parkir berbayar seharga Rp2.000 di area warung atau toko telah menjadi isu yang cukup meresahkan di kalangan mahasiswa. Praktik ini tidak hanya memberatkan secara finansial, tetapi juga mempengaruhi pola konsumsi dan perilaku berbelanja mahasiswa. Biaya parkir yang terkesan nominal ini nyatanya berdampak signifikan mengingat frekuensi kunjungan mahasiswa ke warung atau toko untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Dampak langsung dari kebijakan parkir berbayar ini adalah meningkatnya total pengeluaran mahasiswa untuk setiap transaksi pembelian. Sebagai contoh, jika seorang mahasiswa membeli sebungkus nasi dengan harga Rp10.000, biaya parkir Rp2.000 secara efektif menambah 20% dari total pengeluaran. Hal ini mendorong mahasiswa untuk lebih selektif dalam memilih tempat berbelanja, bahkan untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Beberapa mahasiswa melaporkan bahwa mereka cenderung mengurangi frekuensi pembelian atau mencari alternatif warung yang tidak menerapkan biaya parkir, meskipun hal tersebut berarti harus menempuh jarak yang lebih jauh.

Fenomena ini tidak luput dari perhatian para pelaku usaha. Banyak warung dan toko yang kemudian mengadopsi strategi pemasaran "Gratis Parkir" sebagai daya tarik bagi konsumen, khususnya mahasiswa. Strategi ini terbukti efektif dalam meningkatkan jumlah pengunjung, mengingat sensitivitas mahasiswa terhadap biaya tambahan sekecil apapun. Data dari survei yang dilakukan oleh Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia menunjukkan bahwa warung atau toko yang menawarkan parkir gratis mengalami peningkatan omzet hingga 15% dibandingkan dengan yang masih menerapkan parkir berbayar.

Meskipun demikian, penerapan parkir berbayar ini juga memiliki argumen yang masuk akal dari sisi pengelola area parkir. Biaya ini digunakan untuk pemeliharaan lahan parkir, gaji petugas keamanan, dan sebagai kompensasi atas penggunaan lahan. Namun, banyak pihak berpendapat bahwa model bisnis yang mengandalkan pemasukan dari biaya parkir perlu ditinjau ulang, mengingat dampaknya yang cukup signifikan terhadap daya beli konsumen, terutama kalangan mahasiswa. Beberapa ahli ekonomi mikro menyarankan agar biaya parkir dapat diintegrasikan ke dalam harga produk atau layanan, sehingga tidak memberikan beban psikologis tambahan pada konsumen saat melakukan transaksi.

Kesimpulannya, fenomena parkir berbayar Rp2.000 di area warung atau toko telah menciptakan dinamika baru dalam pola konsumsi mahasiswa dan strategi pemasaran pelaku usaha. Di satu sisi, hal ini mendorong mahasiswa untuk lebih bijak dalam mengelola keuangan dan memilih tempat berbelanja. Di sisi lain, hal ini juga memaksa pelaku usaha untuk lebih kreatif dalam menarik pelanggan, salah satunya melalui penawaran parkir gratis. Ke depannya, diperlukan dialog yang konstruktif antara pelaku usaha, pengelola parkir, dan konsumen untuk mencari solusi yang saling menguntungkan, sehingga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi lokal tanpa membebani konsumen, khususnya mahasiswa yang memiliki keterbatasan finansial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline