Lihat ke Halaman Asli

Menyelamatkan Kaum Terdidik

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Indonesia terbentuk atas dasar perjuangan dan tekad para putra terbaik bangsa Indonesia. Bung Karno, Bung Hatta, Ki. Hajar Dewantara, kemudian dikalangan ulama K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan adalah manusia yang peduli dengan keselamatan dan keberlangsungan bangsa ini. Terlepas dengan adanya kepentingan-kepentingan personal maupun kelompok yang menyatu dengan sendirinya dalam setiap perjuangannya. Para pejuang bangsa ini, secara kultural memiliki kekuatan moral dalam upaya menyelamatkan anak bangsa, penerus perjuangan suci, sekaligus teladan bagi generasi bangsa ini.

Sepakat atau tidak, bangsa kita banyak melahirkan generasi bangsa yang antipati dengan sejarah. Mereka para pejuang yang seharusnya menjadi teladan bangsa ini, kini hanya menjadi rangkaian sejarah tak berarti. Hampir semua generasi bangsa dewasa ini keluar dari barisan besar itu. Munkin lebih tepatnya bangsa kita saat ini lebih tertarik dengan rayuan-rayuan globalisasi yang hanya memberikan keuntungan pada segelintir orang saja. Sedangkan potensi lokal (local genius) dijadikan kacung dan korban dari kerakusan akan kepentingan yang tidak merakyat.

Malcolm Waters (Tilaar: 1997) menganalisis bahwa terdapat tiga dimensi kekuatan globalisasi, yakni globalisasi politik, globalisasi budaya, dan globalisasi ekonomi. Kekuatan globalisasi budaya misalnya, muncul beberapa jenis wajah, seperti transaksi ide, teknologi, pengetahuan, media, dan kehormatan. Semua ini sangat mengancam universalitas sistem nilai dan etika gobal serta mengaburkan sistem nilai kehidupan manusia.

Efek dari kekuatan inilah, mampu menjadi semacam sistem propaganda atau sugesti terhadap para penguasa untuk berperilaku apatis atas amanah dasar perjuangan para pendiri bangsa ini (pancasila). Telah kita ketahui bersama bahwa cita-cita pendiri bangsa yang paling mulia adalah bangsa ini harus memberikan kemakmuran secara merata bagi seluruh rakyat bumi Nusantara. Salah satu efek besar dari kekuatan tersebut, adalah lahirnya pengangguran terdidik yang selalu berjalan secara dinamis.

Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Februari 2007 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, bahwa angka pengangguran terbuka berkurang menjadi 9,75 persen dibandingkan dengan periode Agustus 2006 yang besarnya 10,28 persen. Meskipun menurun, jumlah penganggur dari kalangan perguruan tinggi justru meningkat. Jika pada Agustus 2006 penganggur dari kalangan terdidik ini sebanyak 673.628 orang atau 6,16 persen, setengah tahun kemudian jumlah ini naik menjadi 740.206 atau 7,02 persen.

Trend kenaikan ini sudah terlihat sejak tahun 2003. Padahal, tahun-tahun sebelumnya penganggur terdidik sempat berkurang, setelah tahun 1999 mencapai angka tertinggi, yaitu 9,2 persen. Mengurangi angka pengangguran selalu menjadi agenda prioritas program pemerintah. Namun, setiap tahunnya angka tersebut enggan untuk berkurang. Yang terjadi, pangangguran terdidik cenderung meningkat.

Realitas inilah, menjadi salah satu isyarat bagi bangsa ini, bahwa generasi bangsa Indonesia telah gagal melanjutkan amanah suci dari para pendiri bangsa, yakni memakmurkan seluruh bangsa Indonesia tanpa terkecuali. Paling tidak, para kaum terdidik menjadi salah satu lokomotif pembangunan serta menjadi generasi yang cerdas, handal dan berwibawa. Untuk menuju kearah sana, maka tugas kita bersama untuk menciptakan ruang ekspresi sesuai dengan segala hak dan kewajibannya sebagai warga Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline