"Kampanye digital yang tepat merupakan senjata ampuh dalam mengalahkan petahana", ujar pakar komunikasi Anthony Leong. Ungkapan tersebut tentu ada benarnya. Mari kita melihat kebelakang, seperti yang terjadi pada pilkada DKI Jakarta 2017 silam. Pasangan Anies-Sandi kala itu begitu masif melakukan kampanye digital menggunakan media sosial. Alhasil dengan waktu yang relatif singkat, mereka mampu meningkatkan elektabilitas sampai 50% dan terbukti berhasil mengalahkan sang petahana.
Berdasarkan data survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang menyebutkan bahwa pengguna aktif internet di Indonesia sebanyak 143 juta jiwa. Kemudian sebanyak 72,41% berasal dari kalangan masyarakat urban (perkotaan). Wilayah pulau Jawa masih mendominasi dengan 57,70%. Sebanyak 49,52% pengguna internet mereka yang berusia 19-34 tahun. Data ini menunjukkan adanya peluang yang dapat ditangkap oleh pasangan calon maupun tim pemenanngan untuk menggaet pemilih millenial lewat kampanye digital.
Terbukti, hari Rabu kemarin (21/11) pasangan calon (paslon) no.02 resmi meluncurkan situs prabowo-sandi.com guna mengkampayekan visi-misi, program kerja, serta berbagai macam kegiatan yang dilakukan. Beberapa hari sebelumnya, paslon no.01 merilis aplikasi Jokowi Apps di play store. Bedanya selain untuk mengkampanyekan visi-misi dan program kerja, juga tedapat cerita bergambar dan game yang dapat dimainkan oleh pengguna. Selain aplikasi, paslon no.01 juga telah mempunyai situs resmi dengan nama jokowiamin.id
Plus-minus kampanye digital
Ditengah kemajuan teknologi yang begitu cepat, memang mau tak mau kedua paslon harus meramu strategi yang tepat guna menggaet suara millenial. Dilansir dari merdeka.com jumlah suara millenial pada pemilu 2019 diperkirakan sebanyak 48% atau sekitar 85 juta jiwa. Selain itu kebanyakan para generasi millenial ini bertipikal mudah berubah pilihan atau swing voter. Hal ini mengindikasikan, mereka cenderung akan berubah pilihan jika paslon yang mereka dukung melakukan kesalahan atau blunder.
Seperti misal beberapa pernyataan kontroversial dari kedua paslon ketika Pak Jokowi mengeluarkan steatment Genderuwo dan Sontoloyo, sedangkan Pak Prabowo yang mengeluarkan pernyataan tentang tampang Boyolali, tentu akan dapat merubah suara millenial. Dengan kata lain setiap gerak-gerik kedua paslon sangat mudah dipantau oleh generasi millenial.
Keuntungan berkampanye melalui digital dan media sosial tentu selain biaya yang murah juga dapat menjangkau masyarakat dengan cepat. Berbeda dengan kampanye yang menggunakan iklan di TV ataupun kampanye konvensional yang ongkosnya relatif mahal. Selain itu jika berkampanye melalui media sosial tidak akan berat sebelah sebab pemilik media sosial tidak terafiliasi dengan salah satu paslon, berbeda dengan stasiun TV yang beberapa pemiliknya terang-terangan mendukung paslon tertentu.
Namun belakangan ini, media sosial lebih banyak dihiasi dengan beragam tindakan kontroversial dari kedua belah kubu. Padahal yang seharusnya ditampilkan adalah adu visi-misi dan program kerja untuk memikat para millenial, bukan drama perdebatan tim sukses (timses) yang tiada ujung maupun aksi saling lapor dan menjelekkan satu sama. Jika hal seperti itu terus dilakukan, bukan tidak mungkin kedua kubu akan kehilangan respect dari millenial.
Hal tersebut seperti tergambar dari hasil survei Alvara Research Center yang menyebutkan hanya 22% generasi millenial yang menyukai pemberitaan politik. Mereka berdalih bahwa politik itu kaku dan membosankan. Inilah yang menjadi PR bagi para tim pemenangan untuk membuat situs maupun aplikasinya menjadi sebuah alat kampanye yang menarik bagi para millenial.
Review Situs dan Aplikasi Kedua Paslon