Akhir November merupakan batas akhir penetapan kebijakan daerah terkait anggaran. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 312 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan "Kepala daerah dan DPRD wajib menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD paling lambat 1 (satu) bulan sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun." Selanjutnya dilakukan evaluasi rancangan Perda tentang APBD oleh Menteri Dalam Negeri untuk tingkat provinsi, dan Gubernur untuk tingkat kabupaten/kota.
Satu kata yang paling populer karena sering muncul dalam tahapan terkait proses penyusunan rancangan Perda tentang APBD adalah defisit. Mengutip PMK nomor 117/PMK.07/2021, "Defisit APBD adalah selisih kurang antara pendapatan daerah dan belanja daerah pada tahun anggaran yang sama." Mengacu kepada konsep tersebut secara sederhana defisit merupakan jumlah belanja lebih besar dari jumlah pendapatan.
Regulasi keuangan memberi ruang untuk batas maksimal defisit APBD. Persentase besaran tersebut diatur oleh Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah. Semakin besar kapasitas fiskal daerah, maka ruang untuk defisit sedikit lebih besar, begitu juga sebaliknya. Kapasitas fiskal daerah yang kecil maka ruang defisit juga kecil. Walaupun ruang tersebut ada dan legal, perlu dicermati baik dalam kondisi saat ini maupun jangka panjang.
Kebijakan defisit memberi ruang kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan pinjaman. Kebijakan ini secara normatif harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. Pinjaman akan menjadi kewajiban berikutnya bagi Pemerintah Daerah dalam bentuk pengembalian pinjam. Pengembalian ini berkaitan kembali dengan kemampuan sumber pendapatan untuk mengembalikan pinjaman. Sejauhmanakah penggunaan pinjaman bisa dibelanjakan dengan efektiv dan efisien, sehingga bisa meningkatkan pendapatan daerah.
Hal ini dikaitkan dengan tingkat efektivitas dan efisiensi belanja dalam mendukung peningkatan pendapatan daerah. Semakin efektif dan efisien kebijakan terkait belanja, tentu diharapkan paralel dengan peningkatan pendapatan. Kebijakan belanja harus berkaitan dengan tingkat kebutuhan bukan keinginan.
Secara sederhana kebutuhan merupakan hal dasar, jika tidak ada maka akan mempengaruhi kehidupan. Misal belanja untuk pelayanan administrasi kependudukan, belanja untuk kebijakan pangan, belanja untuk kebijakan kesehatan, pendidikan. Sedangkan keinginan merupakan sesuatu yang jika tidak dipenuhi tidak membawa dampak signifikan bagi kehidupan dan aktivitas masyarakat.
Pemilahan dan pemisahan antara kebutuhan dan keinginan suatu hal yang sangat sulit, kalau dikaitkan dengan kebijakan politik. APBD merupakan keputusan politik melalui kesepakatan bersama antara Kepala Daerah dengan DPRD. Dalam level tertentu kondisinya bisa terjadi pertentangan antara Kepala Daerah dengan legislatif. Pertentangan tersebut memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses penetapan rancangan APBD. Walaupun itu sulit, jika ada komitmen yang kuat bisa dilakukan.
Dalam penetapan kebutuhan harus berdasarkan prioritas dengan indikator yang terukur dan objektif bagi kepentingan daerah. Terkait prioritas secara sederhana bisa dikelompokan dalam empat kuadran. Pertama, kebutuhan penting dan mendesak.
Kedua, kebutuhan penting tidak mendesak. Ketiga kebutuhan tidak penting tapi mendesak. Keempat, kebutuhan tidak penting dan tidak mendesak. Terkait dengan kondisi defisit tadi, maka prioritas belanja tentu diarahkan kepada kebutuhan yang penting dan mendesak.
Sebagai contoh kebijakan Pemda melaksanakan acara di hotel dan diluar daerah. Dengan kondisi defisit, kebijakan ini masih bisa disesuaikan menjadi pelaksanaan acara dilakukan di kantor masing-maisng peangkat daerah atau di hotel dalam daerah.