Pokok pokok pemikiran Max Webber dan Herbert Lionel Adolphus Hart (H.L.A Hart).
Bagaimana pendapat pemikiran kedua tokoh tersebut dalam masa sekarang?
Max Weber dan H.L.A. Hart merupakan dua pemikir besar dalam bidang ilmu sosial dan hukum, yang kontribusinya tetap relevan hingga kini. Meskipun keduanya berasal dari latar belakang yang berbeda---Weber dari sosiologi dan Hart dari filsafat hukum---pemikiran mereka dapat diaplikasikan dalam memahami dinamika sosial dan sistem hukum modern.
1. Max Weber: Rasionalisasi dan Birokrasi dalam Masyarakat Kontemporer
Weber dikenal dengan teorinya tentang rasionalisasi dan birokrasi. Ia berargumen bahwa modernisasi masyarakat ditandai oleh peningkatan rasionalitas dan profesionalisme dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pemerintahan dan ekonomi. Di era sekarang, birokrasi Weberian masih menjadi dasar sistem administrasi di banyak negara, termasuk Indonesia. Struktur pemerintahan yang hierarkis, aturan yang ketat, dan pembagian tugas yang jelas mencerminkan prinsip birokrasi Weber.
Namun, tantangan modern muncul dalam bentuk ketidakefisienan birokrasi dan fenomena red tape (kerumitan administrasi). Digitalisasi dan otomatisasi kini menuntut birokrasi untuk lebih adaptif dan responsif. Di sinilah pemikiran Weber harus diperbarui rasionalisasi tidak hanya berarti efisiensi formal, tetapi juga kemampuan berinovasi dan memberikan pelayanan publik yang cepat dan transparan.
Selain itu, konsep Weberian ethics tentang hubungan antara etika dan agama dalam kapitalisme juga tetap relevan. Dengan munculnya gerakan ekonomi syariah dan ekonomi hijau, kita melihat bagaimana nilai-nilai moral berperan dalam membentuk praktik ekonomi di era modern.
2. H.L.A. Hart: Hukum sebagai Sistem Aturan di Era Pluralisme
Sementara itu, H.L.A. Hart, melalui bukunya The Concept of Law (1961), menekankan bahwa hukum merupakan sistem aturan yang terdiri dari aturan primer dan sekunder. Aturan primer mengatur perilaku masyarakat, sementara aturan sekunder mengatur bagaimana aturan primer dibuat, diubah, dan ditegakkan. Teori ini sangat relevan dalam negara modern, di mana hukum tidak hanya mencakup aturan substantif tetapi juga prosedur yang memastikan legitimasi dan keadilan.
Dalam konteks Indonesia, di mana sistem hukum pluralis berlaku---terdiri dari hukum nasional, hukum adat, dan hukum agama---pemikiran Hart membantu kita memahami pentingnya aturan sekunder seperti konstitusi dan legislasi. Aturan sekunder berperan dalam menjamin koeksistensi berbagai sistem hukum, sekaligus menjaga supremasi hukum (rule of law) agar tidak terjadi benturan antar norma yang berbeda.
Selain itu, Hart juga mengakui bahwa hukum tidak selalu bersifat deterministik. Ia memperkenalkan konsep "discretion," yaitu kebebasan hakim dalam menafsirkan hukum. Di era sekarang, di mana dinamika sosial berubah dengan cepat, peran diskresi ini sangat penting. Misalnya, dalam kasus-kasus terkait kebebasan berekspresi atau hak digital, hakim dituntut untuk menyeimbangkan antara aturan yang ada dengan perkembangan nilai dan norma masyarakat kontemporer.