Di era milenial sekarang ini, yang menjadi agent of chance adalah anak muda atau biasa disebut dengan generasi milenial. Dari data Badan Zakat Nasional (BAZNAS), anak muda sebagai generasi milenial tidak banyak terlibat dalam perkembangan zakat. Untuk itu generasi milenial harus terbuka dalam permasalahan agama. Serta dapat berkontribusi bukan hanya sebagai donatur, akan tetapi juga pelopor gerakan perubahan.
Generasi milenial bisa menjadi penyampai informasi yang baik. Yang menjadi salah satu faktornya adalah kesamaan cara berkomunikasi dan emosional sebagai sesama milenial. Teknologi juga mempermudah para generasi milenial tersebut mengandalkan media sosial sebagai tempat mendapatkan informasi. Saat ini, media sosial (Instagram, Facebook, Telegram, Tik Tok, Zoom Meeting, Google Meeting) telah menjadi platform pelaporan dan sumber berita utama bagi generasi millenial. Ini peluang untuk penerapan digitalisasli zakat bagi generasi millenial.
Secara etimologis, istilah literasi berasal dari bahasa latin "literatus" yang mana memiliki arti orang yang belajar. Jadi dalam hal ini literasi sering dihubungkan dengan urusan membaca dan menulis. Namun, seiring bergesernya zaman, kata literasi menunjukkan paradigma baru dengan diikutinya variasi yang mengikuti kata literasi. Seperti misalnya literasi digital, sains, literasi keuangan, termasuk salah satunya literasi zakat ini.
Zakat memberi dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Zakat juga bermanfaat mendatangkan kebaikan-kebaikan dalam hidup. Rezeki dilancarkan, kualitas hidup meningkat, hati terasa tenang, dan kehidupan juga terasa lebih tentram karena kebaikan yang telah dilakukan. Konsep sederhananya, dengan berzakat distribusi harta dari pemilik kekayaan terhadap fakir miskin dan golongan yang berhak lainnya terjadi secara harmonis sesuai ketentuannya. Sehingga mereka dapat melakukan kegiatan ekonomi, tidak hanya konsumsi tapi juga dapat mendukung kegiatan-kegiatan produktif. Alhasil, zakat benar-benar dapat mengangkat status seseorang yang tadinya mustahiq menjadi muzaki. Dengan kata lain zakat berdampak pada kesejahteraan.
Menurut Dr. Emmy Hamidiyah (anggota dari Badan Zakat Nasional / BAZNAS), untuk menanamkan zakat sebagai gaya hidup ada tiga. Pertama literasi (literacy), yaitu memberikan edukasi kepada tentang wajib hukum zakat, hikmah zakat dan manfaat zakat serta mendorong agar bisa membaca dari berbagai literatur tentang zakat. Kedua adalah kesadaran (awareness). Jika tahap literasi sudah dilakukan, maka akan muncul kesadaran yang tinggi terhadap zakat. Ketiga adalah kebiasaan (habitual). Jika ketiga sudah ditanamkan, maka zakat akan menjadi gaya hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H