Disetiap sudut kota, jalanan, atau pasar pasti tidak jarang kita menjumpai orang-orang berpenampilan kumal dan lusuh tengah menengadahkan tangan sembari mengharapkan belas kasihan orang yang lewat. Tidak peduli hari sudah larut dan gelap, mereka -yang biasa kita sebut dengan tunawisma atau pengemis- tetap setia nangkring ditempat biasa mereka mencari nafkah sekadar untuk memperoleh sesuap nasi.
Seringkali timbul rasa iba dalam diri kita takkala melihat keprihatinan hidup mereka. Sehingga kita pun rela merogoh beberapa lembar rupiah hanya agar mereka tidak kelaparan esok harinya. Mengingat kebanyakan pengemis itu terdiri atas orang tua dan anak-anak yang tidak mampu membiayai hidupnya sendiri. Meski bantuan yang diberikan tidak seberapa namun kebahagian dan kepuasan yang dirasakan ketika membantu sesama tidak dapat dimungkiri. Kepedulian inilah yang menandakan bahwa seseorang masih memiliki moralitas, keadaban, dan nilai kemanusian dalam dirinya.
Mirisnya, segelintir orang justru memanfaatkan rasa kepedulian ini. Misalnya saja kasus yang pernah terjadi di Jawa Barat. Dimana Dinas Sosial Kota Bogor baru saja mengamankan seorang pengemis yang kedapatan membawa uang tunai sebesar Rp1,8 juta. Selain uang, ia juga memiliki empat STNK dan sebuah cek dengan jumlah fantastis menyampai Rp1,3 miliar. Kasus serupa juga pernah terjadi sebelumnya. Seorang pengemis berhasil terciduk dalam razia penertipan yang dilakukan Satpol PP Kota Pati.
Menurut penyelidikan terungkap bahwa ia memiliki harta kekayaan senilai lebih dari Rp1 miliar. Dia mengaku omzet pendapatannya dalam sehari bisa mencapai Rp1 juta atau jika dikalkulasikan kurang lebih sekitar Rp30 juta sebulan. Angka yang bahkan lebih tinggi dari pendapatan rata-rata karyawan kantoran di Indonesia.
Selain hal tadi, ditemukan juga fakta yang tidak kalah mengejutkan. Sejumlah pengemis diduga sengaja mengeksploitasi anak-anaknya untuk ikut serta meminta-minta. Dari beberapa kasus yang terjadi, seringkali orangtua sengaja memberi obat tidur pada anak balita mereka agar saat dibawa mengemis tetap tenang. Padahal disisi lain anak-anak yang mengemis ini rawan untuk mendapat tindak kekerasan dan kriminalitas di jalanan.
Berdasarkan data dari Kementrian Sosial (Kemensos) selama tahun 2017 tercatat telah terjadi 8.937 kasus yang menimpa anak jalanan dari rentang usia 0 -- 17 tahun. Diantaranya pencabulan sebanyak 2.117 kasus dan penganiayaan / perkelahian sebanyak 1.115 kasus. Sementara sisanya diisi oleh kasus pemerkosaan, penelantaran, dan penculikan.
Masalah kemiskinan yang kultural disinyalir menjadi salah satu penyebab munculnya fenemena pengemis. Dari masalah kemiskinan kultural inilah berkembang nilai dan pandangan hidup negatif seperti apatis, apolistik, inferioritas, fatalistik, ketidakberdayaan, dan sebagainya yang kemudian menjadi landasan terbentuknya pola pikir dan tingkah laku mereka. Ambil contoh kasus diatas, para pengemis tersebut cenderung untuk menetap di profesinya karena terjebak perspektif bahwa mereka tidak akan mampu bisa bertahan dalam menghadapi persaingan hidup sebagai akibat dari tidak mencukupinya pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki sehingga mereka tidak berusaha untuk memperoleh mata pencaharian yang lebih baik.
Di samping itu kebiasaan meminta-minta dianggap sudah cukup untuk mendatangkan keuntungan besar tanpa perlu bersusah payah sehingga mendorong para pengemis ini untuk terus mengeluti profesinya tanpa mempedulikan norma aturan dan sosial yang berlaku. Namun tidak semua dari mereka menjalani pekerjaan ini demi keuntungan materi. Sebagian ada pula yang murni melakukannya hanya ketika keadaan sudah terdesak dan tidak ada opsi lain yang bisa dipilih.
Persoalan pengemis pun menjadi masalah yang kompleks dan merupakan akibat yang timbul dari adanya kemiskinan yang tidak kunjung selesai dan berkepanjangan. Oleh sebab itulah dalam mengetas permasalahan ini dibutuhkan peran aktif, sinergi, dan kerjasama dari berbagai pihak termasuk pihak swasta serta masyarakat umum. Dalam penanggulangannya harus memperhatikan unsur kemanusiaan tanpa adanya tindak diskriminasi misalnya melalui pendekatan humanistik.
Pendekatan humanistik adalah pendekatan secara manusiawi yang dilakukan tanpa niat untuk merendahkan harga diri seseorang melalui eksplorasi dan pengembangan kemampuan. Pendekatan jenis ini bisa dilakukan dengan beberapa cara seperti melakukan pemberdayaan kelompok tidak mampu, memperluas lapangan dan peluang kerja bagi mereka, mempermudah akses pada layanan pendidikan dan kesehatan, membuat gerakan penanganan kemiskinan, dan lain sebagainya.
Pendekatan humanistik yang mengedepankan harkat dan martabat haruslah dipegang teguh agar hak-hak mereka dapat terjaga dan mampu mengembalikan fungsi sosial mereka di masyarakat. Dengan demikian secara bertahap masalah kemiskinan dapat segera diatasi sehingga dapat menurunkan angka tunawisma atau pengemis di Indonesia.