Seringkali kebijakan hanya tulisan yang tertuang di atas kertas. Sedangkan dalam penerapannya, terserah siapa yang bertindak dilapangan karena kurangnya pengawasan. Yang paling mengenal para murid adalah gurunya. Pekerjaan Rumah (PR), salah satu topik kontroversial yang masih menjadi topik hangat bukan hanya dalam konteks pendidikan di Indonesia tapi juga di dunia. Selalu ada pihak yang mendukung dan menentang dengan berbagai alasan.
Ini adalah zaman digital, dengan kecanggihan tekhnologi media belajar juga semakin bervariasi. Dengan demikian, PR bukanlah monster yang membunuh. Kebijakan untuk mentiadakan PR merupakan keputusan sepihak. Seharusnya yang lebih berhak menentukan adanya PR atau tidak adalah gurunya. Gurulah yang paling mengerti pencapain siswa yang menjadi anak didiknya. Merekalah yang bisa mempertimbangkan perlu adanya tugas tambahan atau tidak.
Keberagaman media belajar saat ini sangat membantu siswa belajar. Anak-anak sekarang menjadi lebih kritis terhadap apapun. Mereka cenderung bisa memilih mana yang mereka butuhkan atau tidak. PR menumbuhkan sikap kemandirian dan kepiawaian siswa dalam memecahkan masalah. Ketika mengerjakan PR siswa harus bekerja sendiri dengan bekal pemahaman teori yang telah di pelajari di sekolah. Hal ini melatih kemandirian serta tanggungjawab.
PR bisa menjadi media untuk siswa berlatih karakter tanggungjawab, mandirian dan kepiawaian dalam menyelesaikan masalah. Karakter inilah yang nantinya di butuhkan anak-anak ini di masa depannya dalam bekerja maupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, PR bukanlah beban tapi salah satu media yang mendukung terbentuknya karakter siswa yang cakap dalam segala sisi kehidupan.
Salam semangat...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H