Lihat ke Halaman Asli

Fauziah

Serenity

Imam Ibnu Abbas: Indikator Kebahagian

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap manusia adalah pemburu kebahagiaan. Apapun yang dilakukan tentunya tidak akan lengkap kalau hati tidak bahagia. Baik orang miskin maupun orang kaya, anak-anak ataupun orang dewasa semua orang menginginkan kebahagiaan.

Berikut indikator kebahagian menurut Imam Ibnu Abbas:

1.Qalbun syakirun (hati yang bersyukur)

Seorang datang kepada gurunya dan mengadu. Wahai guru rumahku sangat sempit, aku sama sekali tidak nyaman tinggal di dalamnya. Ditambah anak-anakku banyak wahai guru, rumahku terasa semakin sempit.

Sang guru memintanya untuk memasukkan dua ekor kambing peliharaannya untuk tinggal bersama mereka. Muridpun mematuhi sang guru. Saat bertemu dengan gurunya dia langsung melaporkan kepada gurunya bahwa dia merasa lebih tidak nyaman dari sebelumnya. Baiklah, kata sang guru. Sekarang kamu pulang dan nanti malam masukkan dua kambingmu yang lainnya. Murid ini sangat patuh kepada gurunya. Dengan serta merta dia membawa masuk dua kambing lainnya. Ketika bertemu gurunya, dia malah mengeluh wahai guruku aku semakin menderita saja sekarang ini. Rumahku semakin sempit guru. Tanpa banyak bicara, gurunya hanya bilang tambah dua ekor lagi. Dengan penuh kesal, keesokan harinya dia melaporkan kepada gurunya. Wahai guruku, aku tidak bisa tidur semalaman. Bagaimana aku bisa tidur, rumahku tidak lagi seperti rumah.

Sang guru hanya tersenyum saja. Kali ini perintahnya sangat sederhana, kamu ambil semua kambing-kambingmu kemudian tempatkan di tempatnya. Si murid langsung saja melaksanakan perintah gurunya.

Keesokan harinya dengan wajah sumringah dan bersemangat, si murid langsung menemui sang guru. Wahai guruku, aku merasakan kelegaan yang sangat luar biasa. Aku bisa tidur dengan sangat nyenyak, sampai-sampai aku kesiangan dan tidak terbangun saat tahajjud.

Apakah rumah si murid itu bertambah luasnya? Tentu saja bukan. Kelapangan yang dia rasakan itu hanya karena hatinya yang begitu sempit, hati yang tidak mengenal bersyukur dengan apa yang telah dimiliki. Dalam kisah ini kita bisa melihat manusia selalu dalam keadaan susah dan gelisah. Adakalanya harus di uji dulu dengan mencabut semua kenikmatan yang mereka rasakan untuk bisa bersyukur.

Semoga kita bisa selalu belajar dari kisah-kisah penuh hikmah. Kisah orang-orang yang selalu belajar untuk mencapai kebahagian sejati. Kebahagiaan nyata tidak hanya semu semata. Memperoleh kelapangan dengan hati yang bersyukur(Qalbun syakirun).

Wallahu’alam Bissawab...

(bersambung)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline