Saat kata ikhlas dijadikan alasan untuk memperoleh uang secara instan. Kata ikhlas dijual murah, diucapkan dan seakan diperjual-belikan untuk sekedar memperoleh uang. Manusia serakah ingin mendapat lebih dari sekedar gaji, bahkan tidak peduli lagi kata haram. Inilah mental sejumlah PNS (Pegawai Negeri Sipil) di negeri ini, PNS yang bermental baik pun cenderung linglung, seperti diujung muara, terancam terikut derasnya arus. Hal tersebut jelas terlihat di sejumlah kantor dinas di Kota Medan. Salah satunya di Kantor Disnaker (Dinas Sosial Tenaga Kerja) Kota Medan. Praktik pungli (pungutan liar) jelas terlihat menjadi "sampingan" pegawai Disnaker. Kata seikhlasnya kerap dilontarkan pegawai dan petugas kepada setiap pengurus AK-I (kartu kuning) yang sangat dibutuhkan untuk pendaftaran kerja, terlebih sekarang lagi marak CPNS, kartu kuning sangat dibutuhkan, jadi makanan empuk pula bagi PNS Nakal. "Tidak ada kami paksa-paksa, kan enggak ada salahnya kami cuma bilang seikhlasnya, ya berapa dikasih itu yang kami terima," ungkap salah seorang petugas yang melakukan legalisir AK-I. Saat disinggung mengenai tertera pengumuman segala urusan di disnaker tidak dipungut biaya atau gratis di papan pengumuman kantor tersebut, dia menolak berkomentar. Salah seorang informan yang mengaku sebagai pengangguran dan masih belum mendapat pekerjaan sejak meluluskan kuliah S1 nya tahun 2010 mengaku berang saat mendengar kata seikhlasnya yang dinilainya pungli. "Saya sempat tidak mengasih uang karena dipapan pengumuman jelas ada tulisannya tidak dipungut biaya, gratis. Tapi mereka tetap bilang seikhlasnya, ya saya pergi. Tapi dipanggil katanya untuk biaya administrasi, loh katanya gratis?. Saya ini pencari kerja, kok terus dimintai uang. Pengangguran darimana bisa mendapatkan uang?". Informan ini pun mengaku terpaksa menyerahkan uang Rp.10.000 yang ada di saku celananya. Apakah Medan masih terus begini? Apakah birokrasi negeri ini selamanya lakukan pungli? Apakah pelayanan kepada masyarakat itu omong kosong bisa terbebas dari pungli? Dimana para penentu kebijakan, para akademisi dan kritikus handal yang harusnya berperan melakukan perubahan? Bahkan bahasa syahdu dijual murah demi mendapatkan rupiah. Diam bukan pilihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H