Lihat ke Halaman Asli

Fauzi AF

Penulis

Rinai di Kota Liege

Diperbarui: 5 Desember 2022   09:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. (foto:pixabay)

" Berani mengambil hati orang gagal, berarti berani tepati janji untuk tetap tinggal. "

Istilah ini kerap mengingatkanku pada seseorang yang kutemui di sebuah kedai kopi awal 2016 lalu. Bukan Paris, bukan juga Roma. Tapi Kota Liege, perbatasan antara Jerman dan Belgia.

Kataku ; "Setelah bulan sebelas berlalu akan kusambut dirimu." (sambil menatap kosong halaman di simpang jalan)

Ya, hujan siang itu memang telah membuatku ditakdirkan ngobrol banyak tentangnya.

Suaranya lirih ; "Manusia kan datang lalu pergi. Datang lagi, lalu pergi lagi, datang lagi, kemudian pergi lagi. Seperti rinai dalam bingkai bulan Desember." katanya, sambil terlihat mata yang berkaca-kaca.

Gelas kaca sekalinya jatuh, mudah sekali retak dan pecah, sulit untuk kembali seperti semula. Perumpamaan ini tepat jika mengambarkan pada perempuan yang sudah lulus kuliah di Universitas Liege ini.

Masa silamnya, mengisahkan banyak luka. Ia mungkin sedang berusaha memunguti serpihan-serpihan kaca pecah agar tak berbekas. Tetapi manusia, memanglah yang paling banyak berkeluh-kesah.

"Jika pada akhirnya harus memilih jalan melepaskan, yang perlu kamu tahu, ya, yang perlu kamu tahu, kamu harus sudah mematahkan seluruh hatimu. Karena satu-satunya cara untuk menerima takdir adalah mengikhlaskan." (Aku mengingatkannya)

Aku mengenalinya memang dengan hati, memilihnya bukan karena suka, bukan juga dengan mata. Kupilih dengan kekurangan.

Seperti katanya yang masih kuingat ; "Masuk saja kalau mau. Tempatnya sudah tidak berpenghuni. Tapi tolong pakai alas kaki, soalnya kemarin sudah ada yang mecahin kaca."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline