Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Fauzi Prasetya

Seorang mahasiswa Universitas Padjadjaran yang ingin mencoba aktif menulis

Langkah Pertama Menuju Perubahan Sistem Kelulusan Mahasiswa di Indonesia

Diperbarui: 5 November 2023   22:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Tempo.co

Pada bulan Agustus lalu, Menteri Pendidikan Republik Indonesia, Nadiem Makarim, mengeluarkan peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset Dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Peraturan ini menjadi angin segar bagi para mahasiswa karena dengan diluncurkannya Permendikbudristek tersebut maka secara resmi skripsi tidak lagi menjadi syarat utama kelulusan bagi mahasiswa jenjang sarjana dan sarjana terapan. Selain mahasiswa sarjana, mahasiswa pasca-sarjana pun turut dimudahkan karena mereka tidak lagi diwajibkan untuk mempublikasikan tesis atau disertasi mereka di jurnal internasional bereputasi sebagai syarat kelulusan. Dibuatnya peraturan ini juga dianggap sebagai langkah drastis untuk mentransformasi sistem kelulusan perguruan tinggi.

Di dalam Permendikbud ini, Menteri pendidikan mengatur secara eksplisit bahwa mahasiswa dapat memilih beberapa bentuk tugas akhir untuk menyelesaikan studinya, pilihan tersebut diantaranya adalah skripsi, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir sejenis lainnya yang bisa dikerjakan secara individua tau berkelompok. Meskipun begitu, pada dasarnya peraturan mengenai kelulusan tanpa skripsi bukanlah hal yang baru di dunia pendidikan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Sudah banyak program studi di beberapa perguruan tinggi yang menerapkan peraturan untuk tidak mewajibkan skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswanya. Memberikan fleksibilitas kepada mahasiswa dan menghargai keunikan tiap program studi menjadi alasan utama dari diberlakukannya peraturan ini. Umumnya, bentuk tugas akhir yang dianggap sepadan dengan skripsi adalah publikasi artikel jurnal atau berhasil membuat sebuah proyek mandiri.

Diberlakukannya Permendikbud ini tentunya memiliki tujuan yang sangat bagus, mengingat berbagai program studi memiliki kemampuan dan keunggulan lulusan yang berbeda-beda, sehingga perlu ada fleksibilitas yang diberikan bagi mereka dalam mengerjakan tugas akhir. Namun, diterbitkannya Permendikbud ini pun mengundang beberapa kritik dan kekhawatiran, khususnya untuk jenjang sarjana. S-1 identik dengan proporsi 60% teori dan 40% praktik yang menunjukkan bahwa jenjang S-1 lebih menekankan teori, berbeda dengan sarjana terapan (D-4). Penekanan terhadap teori tersebut yang kemudian perlu diuji dengan membuat sebuah karya ilmiah, yaitu skripsi. Dengan mengerjakan skripsi, mahasiswa dituntut untuk mampu berpikir kritis dalam menganalisis sebuah fenomena yang berkaitan dengan keilmuan program studinya dan sesuai kaidah penelitian ilmiah. Kekhawatiran yang muncul adalah karena budaya berpikir ilmiah masih belum terbentuk dengan baik di perguruan tinggi di Indonesia dan tidak sedikit juga mahasiswa yang belum memiliki kemampuan menulis ilmiah yang baik, sehingga mereka akan cenderung memilih tugas akhir yang tidak perlu untuk menulis ilmiah. Hal ini dapat berdampak pada perkembangan lingkungan akademik dan kemampuan berpikir kritis para mahasiswa.

Sumber: ranahresearch.com

Di sisi lain, kemendikbudristek sebagai regulator tetap perlu menerapkan kerangka acuan bagi program studi dan perguruan tinggi untuk menentukan indikator terpenuhinya tugas akhir yang dikerjakan oleh mahasiswa. Kerangka acuan ini penting sebagai bentuk standarisasi yang perlu dipenuhi oleh tiap lulusan perguruan tinggi agar tidak ada ketimpangan kompetensi yang jauh antara tiap perguruan tinggi, sekaligus termasuk bentuk penjaminan mutu lulusannya. Oleh sebab itu, perguruan tinggi dan program studi perlu merumuskan apa saja kompetensi yang perlu dimiliki oleh para mahasiswa, terlepas dari bentuk tugas akhir yang dikerjakan.

Berbeda dengan penghapusan skripsi sebagai syarat utama kelulusan bagi mahasiswa jenjang sarjana, peraturan yang berlaku untuk mahasiswa pasca-sarjana justru diterima dengan sangat positif. Hal ini dikarenakan kewajiban untuk mempublikasikan hasil penelitian dalam jurnal internasional bereputasi telah lama menjadi masalah di sistem pendidikan tinggi di Indoensia. Biaya yang sangat tinggi dan proses review yang lama menjadi penghambat proses kelulusan para mahasiswa magister dan doktor, sehingga sering kali mereka tidak lulus tepat waktu. Tidak jarang juga mahasiswa yang akhirnya menerbitkan penelitian mereka di sebuah jurnal predator, semata-mata untuk memenuhi syarat kelulusannya. Permendikbud ini pun menjadi pintu keluar para mahasiswa magister dan doktor dari sulitnya publikasi di jurnal internasional.

Akhir kata, sistem pendidikan di Indonesia merupakan sistem yang sedang berkembang dan akan terus berkembang. Diresmikannya Permendikbud No. 53 Tahun 2023 merupakan inisiatif yang sangat baik dari pemerintah Indonesia untuk mentransformasi sistem kelulusan di perguruan tinggi yang memiliki beberapa masalah. Penghapusan skripsi sebagai syarat utama kelulusan mahasiswa jenjang sarjana dan sarjana terapan, hingga tidak lagi diwajibkannya mahasiswa magister dan doktor untuk mempublikasi penelitiannya di jurnal internasional bereputasi tentunya memiliki tujuan yang baik agar mahasiswa dapat memiliki kebebasan dalam mengerjakan tugas akhir. Namun, pihak kementrian tetap perlu membuat standarisasi pendidikan yang tepat sebagai acuan bagi perguruan tinggi dan program studi dalam mengembangkan kurikulum dan menetapkan kompetensi yang perlu dimiliki berdasarkan bentuk tugas akhir yang dikerjakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline