Lihat ke Halaman Asli

Daftar Negatif Investasi Film

Diperbarui: 25 Mei 2016   12:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kemarin, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Berikut adalah tulisan saya yang dimuat di Koran Sindo pada 1 Februari 2016.

Pemerintah sedang melakukan pembahasan akhir untuk membuka Daftar Negatif Investasi (DNI) bidang usaha film di sektor teknik, ekshibisi, dan distribusi.

Pembahasan ini mengundang pro dan kontra dari pelaku industri. Pihak yang kontra menganggap akan terjadi invasi budaya asing dan mematikan usaha bisnis ekshibisi independen yang sudah mulai tumbuh di beberapa kota beberapa tahun terakhir. Sedangkan pihak yang mendukung, melihat ini sebagai peluang besar untuk memajukan industri perfilman nasional dan menjadi bagian penting bagi strategi budaya nasional.

Pasalnya, bidang film masuk kategori padat modal dan rentan atas perkembangan teknologi, sehingga kolaborasi dengan investor asing dapat membuka pembangunan infrastruktur bioskop secara signifikan, memberikan kesempatan kompetisi pada sektor distribusi dan peluang untuk produksi film dengan biaya yang lebih besar.

Realitas sektor pembuatan film Indonesia saat ini merujuk pada kebutuhan yang sangat mendesak akan pendidikan tenaga kerja film, infrastruktur pembiayaan, perbaikan kualitas, ketersediaan teknologi, dan keseriusan dalam perlindungan hak cipta. Terbukanya sektor produksi pada investasi asing memberikan kesempatan kepada produser film Indonesia dan tenaga kerja kreatif film untuk mendapatkan akses pembiayaan, teknologi, dan akses pasar luar negeri.

Manfaat lain dari interaksi dengan pelaku asing bermodal adalah para pembuat film Indonesia dapat meningkatkan standar dan kapasitas tenaga kerja melalui alih pengetahuan dan teknologi. Kami mengajukan beberapa usulan kebijakan yang perlu disiapkan oleh regulator untuk membantu kebijakan pembukaan pasar ini agar menjadi efektif dan menyiapkan jaring pengaman bagi pengusaha lokal.

Pertama, pemerintah perlu mengatur penerapan sistem box office terintegrasi untuk pengawasan pasar yang dapat diakses transparan secara harian dan diterapkan untuk film lokal dan film asing. Kami menilai ini akan menjadi instrumen penting bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan berbasiskan data, mengenai evaluasi pembagian jam tayang untuk film lokal dan film asing, dan mempermudah perhitungan perpajakan. Bagi produser film, ketersediaan data ini akan memudahkan riset awal tentang angka dan tren penonton film.

Selama ini hanya grup 21 yang secara rutin memberikan datanya kepada asosiasi produser secara mingguan dan hanya terbatas pada film Indonesia. Padahal, ketersediaan data penonton secara lengkap menjadi suatu prasyarat untuk industri yang sehat. Kedua, perlu disiapkan paket insentif bagi investor untuk membangun di daerah yang belum memiliki bioskop.

Saat ini jumlah layar di Indonesia ada 1.117 buah dengan komposisi kepemilikan bioskop didominasi satu grup dan persebarannya sangat tidak merata. Hasil riset portal filmindonesia. or.id pada 2014 menunjukkan hanya 13% penduduk Indonesia yang memiliki akses ke bioskop. Data ini dihitung dari jumlah penduduk di kota/kabupaten yang memiliki bioskop dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Ketimpangan persebaran bioskop juga terjadi dengan 87% layar terpusat di Pulau Jawa, dan 35% layar berada di DKI Jakarta.

Ketiga, untuk menjawab kekhawatiran invasi budaya melalui film asing, sebenarnya sudah diatur pada UU Film No 33 Tahun 2009 yang mengharuskan sekurang-kurangnya 60% dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama enam bulan berturut-turut ditunjukkan untuk film lokal. Pemerintah harus menyiapkan peraturan menteri tentang tata edar yang sudah lima tahun dibahas dan tidak ada kemajuan. Aturan ini harus diterapkan secara bertahap dan bersyarat, melihat realitas dan dinamika pasar serta perbaikan kualitas produk film nasional.

Kondisi saat ini menurut data portal filmindonesia.or.id grup 21 hanya memberikan 22-27% pada 2013 dan 31% pada enam bulan pertama tahun 2014 untuk film lokal. Adapun Blitz Megaplex hanya memberikan 15%. Keempat, pemerintah perlu memberikan kepastian terhadap bioskop-bioskop independen yang berjumlah 45 layar atau 4,03% dari total layar nasional bahwa mereka masuk dalam kategori UMKM.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline