Lihat ke Halaman Asli

Kita dalam Logika Mistika

Diperbarui: 22 September 2016   12:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

showbiz.liputan6.com

Merujuk pada salah satu karya masterpiecenya Tan Malaka, Madilog (Materialistik, Dialektika dan Logika). Buku yang sarat akan cita-cita seorang "Pahlawan yang dilupakan" - tepatnya "Pahlawan yang dikriminalisasi"- terhadap cara berpikir bangsanya, Indonesia. Bukanlah suatu buku yang bernafaskan Marxisme, ideologi proletariat,  ataupun ajaran partai yang dogmatik. Lewat madilognya, beliau seakan berdialektika dan menghimbau kepada kita semua agar berpikir rasional dan keluar dari pemikiran yang serba keterbelakangan.

Sosok Tan yang pemikirannya dapat mendestruksi kolonialis, begitu menurut Soekarno. Membagi kemajuan berpikir manusia melalui tiga proses: logika mistika lewat filsafat ke ilmu pengetahuan (sains). Madilognya hadir sebagai jawaban atas dibelenggunya pemikiran bangsa Indonesia terhadap Logika Mistika. Karena pada saat itu, Tan melihat bahwa bangsa Indonesia masih dipengaruh hal yang serba tidak masuk di akal – mengultuskan takhayul, mantra, roh, ramalan, dan sebangsanya. Hal ini merupakan efek dari kebudayaan feodalisme-tradisional dan penjajahan kolonial yang seakan “membunuh” cara berpikir bangsa Indonesia. Baginya, logika tersebut tidak dapat menghantarkan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan. Perlu kemerdekaan dalam berpikir dahulu sebelum meraih kemerdekaan Negara yang sesungguhnya.

***

Waktu terus maju, tapi tidak semua umat manusia mengalami kemajuan berpikir. 71 Tahun sudah kita merdeka, tapi faktanya tidak menjamin cara berpikir bangsa Indonesia benar – benar bebas. Inilah gambaran realitas bangsa Indonesia. Seakan di bawah tanah, Tan Malaka menyuarakan keras bahwa perbudakan atas logika mistik bangsa Indonesia belum bertitik. Kita dilempar ke masa lalu, halnya Tan Malaka melihat kondisi di mana orang – orang cenderung berlogika mistik.

Gie pernah berkata, bahwa suatu dasar kebudayaan yang kuat tak pernah dapat dikalahkan oleh pengaruh kebudayaan lain. Apa mungkin cara berpikir dengan logika mistika bangsa Indonesia sudah mengakar kuat dan membudaya, sehingga sulit luntur? Tidak lain, karena terus menerus terdoktrin oleh generasi terdahulu yang mewarisi perbudakan kolonialisme dan feodalisme tradisional.

Entah, atau ini sebuah cermin sikap bangsa kita yang mudah pasrah dan menyerah pada nasib realitas kehidupan sehingga berani mengultuskan dan menuhankan hal-hal mistikanya. Sederhananya, mulai dari mempercayai ramalan, adanya sekelompok orang yang mengambil tanah makam para leluhur, boomingnya fenomena ponari anak ajaib “si penyembuh” atau klenik-klenik lainnya hingga mereka para pesohor negeri dan publik figure yang rela berbondong – bondong jadi pengikut–yang ngakunya sakti- versi Eyang Subur ataupun yang sedang santer versi Aa Gatot Brajamusti, mungkin juga “orang sakti” versi lainnya – yang mengadakan ritual dengan versi kedok dan gaya yang berbeda tentunya. Lucu, tapi mengiris.

Dari kasus Eyang Subur, Aa Gatot Brajamusti, dan mereka yang ngaku “sakti” lainnya, kita bisa menilai, bahwa tidak hanya golongan masyarakat kalangan bawah saja yang percaya dan berguru, demi mendulang elektabilitas dan popularitas, mereka yang berada di kalangan atas pun menggantungi nasibnya di tangan orang yang ngakunya “sakti”. Ilmu hitam, miara jin, ritual kesucian dan hal yang berbau irasional menjadi opsi terakhir dalam mengejar keinginan. Terkesan alergi untuk berusaha dan memilih pasrah, tapi pada tempat yang salah. Jangankan bersuka atas usahanya sendiri, berpikir mandiri pun rasanya sulit. 

Kalau boleh dikatakan, mereka yang cenderung berlogika mistik tak ada bedanya dengan manusia yang dibunuh pikirannya oleh penjajah atau kaum penganut feodalis-tradisional. Serupa, hanya terkamuflase oleh zaman modern. Ada pula yang berkedok agama. Sudah rahasia umum rasanya, kalau agama hanyalah formalitas dalam KTP. Karena faktanya banyak orang yang terjebak dalam praktek dunia mistik, yang akhirnya menuntun ke jurang kesesatan. Menyalahi dan bertolak belakang terhadap dogma agama yang sesungguhnya.

Realitas logika mistika “ringan” pun tak lepas dari kehidupan sehari-hari. Tergambar lewat lingkungan kita, yang lebih asik duduk manis saat mendongeng dan menyinggung hal berbau mistis dan nuansa magis, padahal sesuatu yang irasional. Sedang menolak ketika disuguhi sains yang justru diikuti fakta logis dan empiris, dengan dalih terlalu berat untuk dicerna.

Secara tersirat sosok Tan Malaka mengajarkan bahwa cara berpikir menjadikan indeks perubahan suatu negara –  maju, stagnan sekalipun melangkah mundur – cara berpikir kita lah yang tentukan. Terlepas dari aliran mana kita berangkat, mestinya kita sadar betul bahwa logika mistika adalah warisan perbudakan zaman kolonialisme bangsa asing dan feodalisme tradisional bangsa Indonesia yang masih membekas, khususnya bagi kita generasi pasca kemerdekaan. Menolak sisa warisan perbudakan sudah selayaknya, pun mengedapankan karakter rasional berbasis ilmu pengetahuan, sudah seharusnya.

“Emancipate yourself for mental slavery, none but ourselves can free our mind Singgung Bob Marley, dalam Redemption Song nya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline