Sebuah ungkapan "Ubi Societas Ibi Ius" dicetuskan oleh Marcus Tullius Cicero seorang filsuf di Roma Italia pada 106-43 SM. Ubi Societas Ibi Ius berarti dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Dalam konstruksi paradigma ini, hukum berguna atau bermanfaat sebagai upaya melindungi masyarakat ataupun memberi
ancaman kepada masyarakat apabila ada suatu perbuatan kesalahan yang melawan hukum pada suatu masyarakat tersebut. Begitupun guna keberadaan hukum pada kaidah hukum progresif yang dicetuskan oleh Prof. Satjipto Rahardjo bahwa hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum.
Hal ini berarti baik dalam keadaan filosofis maupun sosiologis, hukum sebagai ideal peruntukkan penolong manusia. Hukum saat dibentuk atau tidak dibentuk dan ditegakkan sebagai perwujudan kesejahteraan manusia.
Di dalam penegakan suatu aturan hukum, terkadang mengalami kesulitan ketika suatu aturan digunakan untuk mendukung perubahan global yang sangat signifikan. Hukum selalu berusaha mengikuti perkembangan zaman, agar suatu aturan hukum dapat menjadi modernisasi dan secara afirmasi dapat melekat untuk perwujudan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Slogan yang di cetuskan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja yang diadopsi dari Roscoue Pound, bahwa "Law is a tools of Social engineering", hal ini berarti hukum sebagai pembaharuan dimasyarakat. Akan tetapi terkadang menimbulkan suatu kontroversi dalam suatu tatanan masyarakat hukum adat itu sendiri, khususnya hak Ulayat masyarakat hukum adat yang berwenang atas pengelolaan wilayah daerah masyarakat tersebut.
Pada tahun 2013 hingga saat ini, kisruh pendirian pabrik semen oleh Semen Indonesia yang tak kunjung selesai di daerah Rembang setelah kekalahan Semen Gresik oleh Masyarakat Pati di Mahkamah Agung. Problematika ini membuat fungsi ekologis daerah tersebut tidak berfungsi dan sangat merugikan masyarakat Rembang hingga tidak
mematuhi aturan AMDAL yang telah ditetapkan. Selain itu, di era Pandemi ini, banyak kisruh tentang hak Ulayat masyarakat adat mulai terderogasi, hal ini dapat dilihat baik dari persoalan Wadas maupun persoalan Suku Asli di titik 0 km menolak untuk pendirian Ibu Kota Negara dikarenakan tidak pernah diajak komunikasi oleh pemerintah.
Dalam pendirian Ibu Kota Negara, adapun Koalisi Kaltim menolak untuk didirikan Ibu Kota Negara dikarenakan akan berpotensi menggusur lahan adat.
Di dalam Deklarasi PBB pada 29 Juni 2006, telah disepakati Hak-Hak Masyarakat Asli/Masyarakat Adat. Deklarasi PBB ini berguna terhadap hak individu maupun hak kolektif masyarakat adat yang bersifat progresif dikarenakan mengkakui perlindungan, pengakuan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat.
Deklarasi ini mengakui terhadap hak atas budaya, pendidikan, kesehatan, bahasa, maupun hak masyarakat adat untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination) beserta pengakuan terhadap hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam dan partisipasi dalam pembangunan.
Dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia, konsep dasar penguasaan dan pengelolaan tanah telah diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi : "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."