Novel Mantra Pejinak Ular merupakan salah satu dari beragam tulisan fiksi karya Kuntowijoyo yang mengangkat isu sosial, politik, dan budaya melalui kacamata sejarah. Seperti yang dikatakan oleh sastrawan Bakdi Soemanto, bahwa ia belum yakin benar apakah Kuntowijoyo seorang sejarawan yang menulis fiksi atau seorang novelis, penulis lakon, penyair, dan penulis cerpen yang suka sejarah. Hal ini dikarenakan Kuntowijoyo terus menulis fiksi dan buku-buku ilmiah sejarah serta kebudayaan yang diminati berbagai kalangan.
Dalam novel ini kental sekali nuansa budaya, politik, maupun politik budaya dalam masyarakat. Misalnya penamaan tokoh utama, Abu Kasan Sapari, yang merupakan perpaduan kebudayaan Arab dan Jawa. Nama tersebut diberikan oleh Kakeknya dengan filosofi, Abu diambil dari nama sahabat Nabi Abu Bakar, Kasan dari nama cucu Nabi (Hasan, orang Jawa menyebutnya dengan Kasan), dan Sapar yang berarti bulan Safar.
Karakter Abu Kasan Sapari tumbuh dalam persentuhan budaya, politik, dan politik budaya yang kuat. Ia lahir dari keluarga dalang. Sejak kecil ia sudah suka dan belajar mendalang. Saat dewasa, ia merupakan pegawai negeri sipil yang saat itu identik sebagai tempat pengumpul suara bagi kepentingan mesin politik Orde Baru.
Masyarakat Jawa kala itu sangat senang menonton wayang. Wayang dipentaskan saat syukuran sunat, kawin, maupun lainnya. Pentas wayang diadakan semalam suntuk dan ramai dihadiri masyarakat dari berbagai kampung. Abu dikenal sebagai seniman wayang oleh masyarakat. Ia kerap mendalangi berbagai acara wayang di berbagai daerah. Hal itu membuatnya dikenal sebagai Ki Abu Kasan Sapari, sebuah gelar kehormatan untuk Abu.
Abu Kasan Sapari sebagai seniman mulai merasakan kegelisahan ketika mesin politik berusaha untuk mempolitisasi pewayangan. Ketika musim pemilu tiba, para mesin politik berusaha menjadikan wayang sebagai medium untuk merebut hati rakyat. Para calon akan mengadakan pentas wayang untuk mempromosikan diri.
Apalagi bila dalang yang dipilih untuk memimpin pentas wayang adalah dalang senior yang dihormati, atau dalang muda yang berkarisma seperti Abu. Tidak jarang perwakilan mesin politik mendatangi Abu untuk memintanya mendalang di acara mesin politik. Abu selalu menolak tawaran tersebut. Abu menilai bahwa wayang sebagai kesenian haruslah merupakan medium yang menghibur. Wayang harus dijauhkan dari semboyan-semboyan politik, dan tidak terikat beban apa pun.
Menurutnya, kesenian bermuara pada kemanusiaan. Oleh karenanya kesenian dikaitkan dengan kepentingan politik, terutama alat kekuasaan. Abu Kasan Sapari berpandangan bahwa seni layaknya air. Ia memadamkan api yang menghanguskan, ia memberi minum yang kehausan.
Pada akhirnya, persinggungan budaya dan politik selalu terjadi di akar rumput masyarakat. Oknum-oknum akan memanfaatkan praktik budaya sebagai medium praktik politik. Sementara yang lain ingin praktik budaya terbebas dari sentuhan-sentuhan politik. Abu tidak ingin seni menjadi menakutkan seperti yang dialaminya saat mendalang suatu hari, di mana tak ada warga yang berani datang menonton karena takut diintervensi mesin politik. Abu sekali lagi ingin seni menjadi hiburan, bukan menjadi ketakutan dan kegelisahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H