Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Fauzan Ilham

Psychology Student | Content Writer | Personal Growth

Paradoks Digital: Bagaimana Media Sosial Membentuk dan Mengguncang Kesehatan Mental di Era Modern

Diperbarui: 27 September 2024   19:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Ketut Subiyanto dari Pexels

Penulis: Herfany Alya Raihan

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana

Dalam era digital yang semakin berkembang, media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Platform seperti Instagram, Twitter, TikTok, dan Facebook tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi, tetapi juga sebagai alat untuk berbagi pengalaman, pemikiran, serta mempengaruhi perilaku sosial. Meskipun menawarkan banyak manfaat, penggunaan media sosial yang berlebihan dapat memiliki dampak negatif terhadap kesehatan mental, terutama pada remaja.

Pada remaja penggunaan media sosial secara intensif dapat mempengaruhi kesejahteraan emosional, terutama karena fenomena salah satu dampak negatif yang paling umum dari media sosial adalah perbandingan sosial yang tidak sehat. Remaja sering membandingkan diri mereka dengan orang lain yang tampak memiliki kehidupan yang "lebih baik" atau penampilan fisik yang "lebih sempurna". Standar kecantikan yang dipromosikan di media sosial sering kali tidak realistis, yang dapat menyebabkan ketidakpuasan terhadap penampilan diri dan body image negative. Studi oleh Fardouly et al. (2018) menemukan bahwa penggunaan media sosial yang intens dikaitkan dengan peningkatan ketidakpuasan terhadap tubuh, terutama di kalangan remaja perempuan. Ini juga meningkatkan risiko gangguan makan dan masalah psikologis lainnya, seperti kecemasan dan depresi.

Jika remaja khusus nya Perempuan mengalami kecanduan hal ini dapat memperburuk kondisi kesehatan mental, seperti depresi dan stress, media sosial yang juga dirancang untuk menarik perhatian dengan menyediakan umpan balik instan dalam bentuk likes, komentar, dan notifikasi. 

Setiap kali seseorang menerima interaksi positif ini, otak merespons dengan melepaskan dopamin, neurotransmitter yang menciptakan perasaan senang. Namun, hal ini dapat mendorong ketergantungan dan perilaku kompulsif. Studi oleh Hunt et al. (2018) menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menyebabkan gejala-gejala kecanduan, seperti perasaan cemas ketika tidak dapat mengakses media sosial, kehilangan waktu berjam-jam di platform tersebut, dan berkurangnya keterlibatan dalam kegiatan lain.

Selain itu munculnya fenomena Fear of Missing Out (FOMO) menjadi salah satu isu utama dalam penggunaan media sosial. FOMO adalah perasaan cemas atau takut bahwa orang lain menikmati hidup lebih baik atau memiliki pengalaman yang lebih menyenangkan dibandingkan dengan diri sendiri. Remaja yang terpapar konten media sosial di mana teman atau kenalan mereka terlihat bersenang-senang sering kali merasa tertinggal atau diabaikan. 

Sebuah penelitian oleh Beyens et al. (2020) menunjukkan bahwa FOMO berkorelasi dengan tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi. Remaja yang terus-menerus membandingkan diri mereka dengan orang lain melalui media sosial cenderung mengalami ketidakpuasan hidup dan kesulitan dalam membangun rasa percaya diri.

Media sosial juga menjadi wadah bagi perilaku negatif seperti cyberbullying. Remaja yang menjadi korban cyberbullying sering kali merasa terisolasi, cemas, dan mengalami penurunan harga diri. Tidak seperti bullying tradisional, cyberbullying dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, membuat korban merasa tidak dapat melarikan diri dari pelecehan. 

Penelitian oleh Kowalski et al. (2019) menunjukkan bahwa korban cyberbullying cenderung mengalami dampak psikologis yang lebih parah, seperti depresi, kecemasan, bahkan pikiran untuk bunuh diri. Hal ini menegaskan perlunya intervensi dan pengawasan yang lebih ketat terhadap aktivitas media sosial di kalangan remaja.

Strategi Mengelola Penggunaan Media Sosial Untuk meminimalkan dampak negatif media sosial terhadap kesehatan mental, ada beberapa strategi yang dapat diterapkan: 

  • Batasi Waktu Penggunaan menggunakan fitur pembatasan waktu pada aplikasi atau ponsel dapat membantu mengelola durasi penggunaan media sosial. Penelitian menunjukkan bahwa membatasi penggunaan hingga 30 menit per hari dapat mengurangi gejala depresi dan kesepian (Hunt et al., 2018). 
  • Kurangi Perbandingan Sosial, penting bagi remaja untuk memahami bahwa apa yang mereka lihat di media sosial bukanlah representasi penuh dari kehidupan seseorang. Menyadari bahwa kebanyakan konten telah disunting atau dipilih dengan cermat dapat membantu mengurangi perasaan rendah diri. 
  • Promosi edukasi tentang penggunaan Sehat Sekolah dan orang tua bisa berperan penting dalam mengedukasi remaja tentang cara menggunakan media sosial dengan bijak. Ini bisa mencakup diskusi tentang etika digital, dampak perbandingan sosial, serta strategi untuk menjaga kesehatan mental.

Kesimpulan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline