Sumber Definisi Agraris menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diambil dari kata ag·ra·ris yaitu berhubungan dengan pertanian atau tanah pertanian. Dari penjelasan tadi bisa disimpulkan bahwa negara agraris adalah negara yang memiliki faktor terbesar yaitu Pertanian. Sistem ini sudah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan, bahkan sudah menerapkan sistem negara agraris itu sendiri. Salah satu kerajaan di Nusantara yang menganut sistem negara agraris yaitu Kerajaan Mataram Islam.
Kerajaan Mataram Islam sendiri, pada awalnya adalah hasil pemberian Alas Mentaok dari Sultan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan, dan dengan tanah pemberian Sultan Pajang tersebut mulai lah babak baru dimana Ki Ageng Pemanahan mendirikan sebuah kadipaten yang diberi nama Mataram, setelah Ki Ageng Pemanahan meninggal penerusnya adalah anaknya sendiri yang bernama Danang Sutawijaya. Setelah Kerajaan Pajang hancur, Danang Sutawijaya membangun Kerajaan Mataram Islam dan melakukan ekspansi ke wilayah disekitarnya. Dalam babak ini Mataram Islam mengembangkan tanah pemberian Sultan Pajang ke dalam sektor pertanian, terutama penanaman tumbuhan padi. Dengan lokasi geografinya yang subur, banyak manfaat yang diperoleh Mataram Islam. Perolehan manfaat dari sektor Pertanian membuat Mataram Islam menjadi pengekspor padi terbesar pada masa itu. Peran ekspor padi di Kesultanan Mataram Islam menjadi sangat penting bagi kawasan Nusantara. Dengan cara menyaingi perdagangan di kawasan Nusantara, Mataram Islam menjadi sangat unggul pada komoditi pertanian, pernah disebutkan jika Mataram Islam dan Makassar menghentikan ekspor padi maka jumlah perdagangan rempah-rempah di daerah Banten akan menjadi anjlok. (Vlekke, 2008: 145)
Letak Geografinya
Menurut berita-berita kuno, Mataram Islam memiliki letak geografis yang berada di daerah aliran Sungai Opak dan Progo yang bermuara di Laut Selatan, yang sekarang sering disebut dengan nama Kota Gede. Dalam kebudayaan kejawen letak Mataram Islam menurut pemahaman masyarakat Jawa terletak diantara Gunung Merapi dan Laut Selatan, yang digambarkan sebagai pusat jagad raya. Disebutkan pula ada kaitan antara kedua tempat itu dengan letak asli kerajaan Mataram Islam. Sedangkan wilayah Kerajaan Mataram Islam yang diketahui sampai sekarang adalah di Alas Mentaok yang membentang antara Tugu sebagai batas utara dan Panggung Krapyak sebagai batas selatan, antara Sungai Code di timur dan Sungai Winongo sebelah barat. Berdasarkan letak geografis di atas, Mataram Islam memiliki letak yang ada dipedalaman jawa bagian tengah yang terkenal dengan wilayah dataran yang luas dan subur, disisi lain sumber air nya yang didukung dengan aliran sungai yang bersumber dari gunung, tidak lagi mengherankan jika Mataram Islam masuk dalam jajaran Kerajaan Agraris.
Menurut laporan Van Goens, lahan persawahan di Mataram Islam dahulunya memang sangat luas, berdasarkan keteranganya pula lahan tersebut semakin luas karena adanya penambahan pintu Gerbang Selimbi yang disebutkan lebih luas lagi dari dataran yang lain. Dari keterangan Van Goens tadi diperkuat oleh laporan para dubes VOC yang mengatakan bahwa Mataram Islam mempunyai tanah paling subur untuk ditanami padi, terkhusus di wilayah Surakarta. (Pranata, 1977: 16)
Ekonomi Politik
Sejak tahun 1575 M hingga 1755 M, kekuasaan raja di Kerajaan Mataram Islam bersifat absolut. Kepala negara dipegang oleh seorang raja yang bertugas sebagai pembuat undang undang, pelaksana undang-undang, dan sekaligus sebagai hakim. Dengan besarnya kekuasaan atau wewenang yang dimiliki, raja juga memiliki kewajiban untuk wilayah nya sendiri,(Munawar, 2020: 12) dengan wilayah yang terbagi dengan empat bagian yaitu, Kutagara (Siti Narawita), Negara Agung, Mancanegara, dan Pasisiran.
Dalam memerintah wilayahnya Raja dibantu oleh seorang Patih (wakil raja), sedangkan yang mengurus urusan pemerintahan di keraton Mataram Islam raja memberikan mandat kepada seorang wedana, dan setiap wedana dikepalai oleh patih-ebet dibantu oleh seorang kliwon (lurah desa), seorang kebayan (asisten bupati dibawa kliwon), dan 40 mantri jajar(sebutan priyayi di lingkungan keraton) (Widada, 2001)
Atas kekuasaan Sultan Agung, wilayah Kerajaan Mataram Islam diperluas secara besar-besaran dan mampu menundukkan daerah-daerah disepanjang utara Jawa dan berhasil menarik upeti dari tanah jajahan nya. Wilayah jajahan masa Sultan Agung meliputi, seluruh Jawa (kecuali Banten dan Batavia), Madura, Palembang, Jambi, Banjarmasin, dan Makassar. (Abimanyu, 2015, hl. 61-62) Namun setelah Sultan Agung meninggal, wilayah kekuasaan Mataram Islam semakin berkurang karena penguasaan Belanda di Jawa dan muncul pembrontakan-pemberontakan di wilayah Mataram Islam. (Abimanyu, 2015: 69-70)
Hasil Bumi
Hasil bumi erat kaitannya dengan seorang Petani, dan menurut sumber- sumber prasasti yang ada istilah petani memiliki arti wanua atau thani , istilah tersebut digunakan untuk menamai pekerja berdasarkan tempat tinggalnya (Boechari, 1962: 83). Dalam Kerajaan Mataram Islam dari banyaknya penduduk, mayoritas pekerjaan nya adalah berprofesi petani. (Munawar, 2020: 15)
Berdasarkan sumber-sumber tertulis Jawa Kuno (Prasasti kakawin) dan data arkeologi seperti relief pada candi menyebutkan hasil bumi yang paling banyak dikelola oleh para petani di daerah Jawa Kuno adalah Beras. (Rahardjo, 2011: 283-284). Contohnya, Mataram Islam sendiri pada saat Musim panen datang, masyarakat sekitar akan berduyun- duyun turun ke sawah untuk memanem padi yang nantinya akan dibawa dengan cara dipikul ataupun menggunakan gerobak yang ditarik oleh 6-8 ekor lembu (Pranata, 1977: 16). Padi yang sudah dikumpulkan nantinya akan ditumbuk dan dijadikan beras yang nantinya akan dikemas dan diperjual belikan oleh orang-orang barat dan timur.
Dengan sektor perdagangan, Mataram Islam mendukung untuk pemenuhan kebutuhan sandang pangan penduduk dan menyebabkan geliat pasar di kota-kota Mataram Islam menjadi hidup dan tumbuh dengan baik. Ketika de Haan berkunjung ke pusat kerajaan, dia melihat banyak pedate yang sedang memuat atau mengantarkan padi dan barang-barang lainnya menuju pasar Kerta. Sebagai pusat kerajaan Kerta membuat dirinya menjadi ramai dengan kesibukan yang hampir tidak pernah putus. Bahkan pedagang dari luar rela untuk menempuh perjalanan yang memakan waktu dua bulan hanya untuk datang ke Kerta (Adrisijanti, 2000: 237; Sabdacarakatama, 2010: 88-89)