Lihat ke Halaman Asli

Angka Konsumsi Hoax dan Pencegahan Progresifitasnya

Diperbarui: 24 September 2017   18:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Kemajuan dan perkembangan teknologi di era globalisasi yang makin hari makin membuat sesak di dada publik dunia semakin lega. Bagaimana tidak? Jika dulu kita untuk menghubungi orang lain saja buyut kakek nenek kita dulu daja memakai surat, itupun pesan yang disampaikan 1-3 hari atau bahakan hingga berminggu-minggu pun baru nyampe pada si penerima pesan. Sekarang tinggal enak, mau modusin ke cewek lewat WhatsApp aja udah gampang banget. Tinggal ketik "Assallamu'alaikum" atau "Eh, salah kirim" saja ga sampe 1 menit. Betapa mudah dan nyamannya hidup kita dipermudahkan oleh inovasi-inovasi globalisasi berpurpos "membuat hidup manusia lebih mudah dan nyaman".

Tapi entahlah, how the hell it happens, semakin hari semakin aneh saja tingkah laku si manusia konsumen teknologi ini. Dalam seleksi alam, terkenal dengan "Yang kuat bertahan, yang lemah berantakan". Atau sebut sajalah dalam dunia teknologi "Yang pintar bertahan, sing bodoh kui modhyaro wae (Yang bodoh itu mendingan mati aja)". Mari kita berpikir realistis sejenak, dilanjutkan berpikir futuris.

Banyak akhir-akhir ini para hamba teknologi semakin meresahkan saja tingkah lakunya. Entah produsen, distibutor, atau konsumennya juga, makin meresahkan saja. Angka hoaxlah yang puaaaaliingggg tinggi derajatnya. Menurut Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia, Kristiono mengungkap bahwa angka konsumsi hoax meliputi :
> Situs Web 34,9%
> Televisi 8,7%
> Media Cetak 5%
> Email 3,1%
> Radio 1,2%
"Biasanya masyarakat suka hal yang heboh. Ini berbahaya, karena bisa jadi perilaku. Mereka bisa memproduksi hoax agar bisa menimbulkan kehebohan," kata Kristiono dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, 13 Februari yang lalu.

Pada fakta tersebut bukanlah berkata bahwa kita akan berada di zona aman bila tidak percaya pada situs baca berita dan lebih memilih memeluk radio saja, tapi pada fakta demikan tersebutlah bahwa rendahnya angka literasi ini membuat orang Indonesia mudah termakan isu, tanpa ada keinginan untuk mengkaji kebenaran atas isu tersebut. Pimpinan Muhammadiyah, Haedar Nashir berkesimpulan bahwa masyarakat Indonesia lebih senang diajak berdemo nuntut pemerintah daripada diajak ke perpustakaan (Ya iyalah, demo kan ntar dapet makan gratis *eh)

Solusinya kepiye iki? Apakah harus pas hamil mengandung anak harus baca buku yang banyak, makan yang bernutrisi lengkap, atau sejak umur H+1menit bayi mulai diajarkan politik dsb? Hahahaha, tentu tidak dong, masih ada celah kecil kesempatan untuk berubah sebelum celah itu tertutup dan sulit untuk membukanya untuk selama-lamanya.

Bagaimana? How? Kepiye?
Membaca, Belajar, dan Pintar. Karena dengan membaca belajar saja tak cukup, bisa-bisa terjadi informasi yang di luar kepala. Iya, di luar kepala karena ga masuk ke dalam kepala sama sekali. Anda harus "pintar"! Jangan asal comot makan kunyah telan saja, harus menjadi manusia yang selektif dan bijaksana, pula cerdas. Keruntuhan suatu bangsa ditentukan seberapa bagus bodohnya bangsa itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline