Lihat ke Halaman Asli

Kembalikan "Senyum" Indonesia

Diperbarui: 3 Oktober 2016   15:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senyum-pun-memudar|Sumber Foto : Koleksi Pribadi

Ada beberapa hal yang rasanya hilang dari bangsa Indonesia, salah satu yang paling terasa yaitu pudarnya senyuman pada wajah orang Indonesia. Senyuman yang dimaksud adalah apa yang Ekman dan Friesen katakana sebagai felt smile atau senyum ketulusan, yakni suatu ekspresi pada wajah sebagai visualisasi dari emosi positif yang ada pada diri seseorang. Sehingga, orang yang mengalami atau melihatnya dapat merasakan suatu kesan, ketenangan, kedamaian dan rasa aman. Mengapa? Sebab senyum merupakan suatu symbol dari suatu keramahaan.

Bangsa Indonesia tempo dulu dikenal sebagai bangsa yang mempunyai tingkat keramahan yang tinggi, menjunjung tinggi nilai kesopanan yang terwakili lewat senyuman. Hal itu yang menjadi salah satu alasan banyak turis yang memilih Indonesia menjadi salah satu tujuan dari perjalanan wisatanya.

Sekitar Tahun 90-an, saya dan ayah saya berjumpa dengan turis asal swiss bernama Robert diperjalanan dari Jakarta ke Semarang, saat itu ayah saya bertanya mengapa ia datang ke Indonesia? Ia menjawab, bahwa selain keindahan alam dan kekayaan budayanya, keramahan orang Indonesia-lah yang menariknya untuk datang berwisata, “saya aman di sini”, katanya. Ia menambahkan ia senang orang Indonesia yang suka tersenyum.

Memang sebagai masyarakat yang dikenal bertipe agraris, sifat gotong royong, keramahan dan kesopanan merupakan suatu kebiasaan atau adat istiadat yang telah diwarisi dari para leluhur, Senyuman adalah bahasa jiwa yang menggambarkan segala kebaikan dan emosi positif tersebut, suatu senyuman tulus yang lahir dari kebersahajaan dan kemurnian hati, kadang kala disertai anggukan kecil tulus ikhlas yang sesaat namun kesannya tertanam abadi dalam sanubari.

Itulah Indonesia-ku dulu, dan yang tergambar di atas sepertinya telah memudar sekarang. Felt smile sudah menjadi barang langka, keramahan jarang didapat, akibatnya kecurigaan tumbuh dan rasa aman pun berkurang, hal tersebut paling terasa pada penduduk kota-kota besar.

Apa penyebabnya? Lupakan dulu tentang urusan ekonomi, hukum, politik, dan pemerintahan, hal tersebut adalah kepastian yang tak perlu dikaji lagi, mari kita cari penyebab lain. Mungkin Derasnya arus globalisasi dan perkembangan teknologi yang begitu cepat bisa dijadikan kambing hitam. Mengapa? Sebab Globalisasi dan teknologi bersifat paradox.

Globalisasi di satu sisi menyediakan berbagai macam impian tentang kemapanan, kesejahteraan dan kemakmuran pada masyarakat, memang impian itu dapat menjadi kenyataan selama orang-orang yang “tercebur” dalam arus globalisasi tesebut mau bekerja keras dan berusaha denga sungguh-sungguh, akan tetapi secara langsung ataupun tidak langsung merubah prilaku masyarakat agraris tradisonal yang penuh keramahan menjadi masyarakat industrialis yang berwatak kompetitor.

Terlebih dengan dukungan teknologi yang makin berkembang, membuat akses terhadap suatu informasi menjadi begitu cepat dan pengetahuan berkembang dengan begitu pesat. Hal tersebut membawa dampak positif di satu sisi, tapi mempunyai sisi lain yang dapat dikatakan kurang baik.

Tidak terbendungnya arus globalisasi dan perkembangan teknologi yang begitu cepat, membuat manusia-manusia modern hampir kehilangan jati dirinya, nilai luhurnya, keramahannya, bahkan identitasnya. Hal inilah yang kemudian seorang pakar menyatakan bahwa masyarakat modern merupakan masyarkat yang kehilangan kategori.

Semua masyarakat modern berkompetisi dengan berbagai hal, macet, jadwal commuter line, teman sekantor, target pekerjaan, deadline dan lain sebagainya. Bahkan akibat kompetisi yang hampir  tidak ada waktu untuk memberikan sedikit felt smile, kepada sesama. Memang manusia-manusia modern pun tersenyum, namun senyum yang diberikan bukan lagi senyum pengharagaan terhadap seorang manusia, akan tetapi dapat diterjemahkan hanya sebagau senyum sesama rekanan, partner kerja yang mengandung unsur transaksional pada guratan wajah bernama senyum itu.

Tidak ada lagi ketulusan di dalam kantor, semua berkompetisi dengan tugasnya masing-masing, tidak ada lagi keramahan di dalam bus, yang ada hanyalah manusia-manusia yang sibuk dengan alam artificial dalam gadget-nya, hingga saat pulang kantor tiba, hampir sulit didapati wajah bersahabt dengan senyum ramah, yang ada hanyalah sisa-sisa rasa lelah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline