Tanggal 2 Mei menjadi suatu tanggal yang biasa diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ki Hadjar Dewantara menjadi salah satu tokoh yang menginspirasi dalam membangun konsep Pendidikan Nasional. Belakangan ini penggunaan kata "Merdeka" menjadi sebuah jargon yang sering digunakan dalam dunia pendidikan. Nadiem Makarim menjadi pencetus sebuah program "Merdeka Belajar" dan "Kampus Merdeka". Sebuah narasi yang membuat seakan-akan ingin mewujudkan sebuah kemerdekaan di dalam dunia pendidikan. Namun sebuah pertanyaan besar apakah diksi "Merdeka" sudah benar dilakukan atau sebatas narasi saja ??
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memberikan catatan khusus dalam refleksi Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2022. P2G menyorot janji Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terkait rekrutmen guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Sampai dengan pertengahan 2022, guru honorer dan swasta yang direkrut menjadi PPPK baru 293 ribu orang. Jumlah itu jauh dari target yang dicanangkan. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan tenaga kependidikan menjadi sebuah hal klasik yang sampai saat ini jauh dari kata "Merdeka".
Menurut Kemendikbud Ristek Program ini juga sejalan dengan target pemerintah untuk mendapatkan satu juta guru mengingat jumlah tenaga pendidik di Indonesia belum memadai. Program ini juga diharapkan mampu memberikan kesempatan terbaik bagi guru-guru yang sudah tidak bisa mengikuti CPNS. Selain itu terdapat permasalahan lainnya yaitu kemampuan pemerintah daerah yang berbeda-beda menjadi salah satu hambatan di dalam pengangkatan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja. Hal ini tentunya memerlukan dukungan dari berbagai pihak untuk dapat mempercepat kesejahteraan guru honorer.
Berbagai permasalah dan adanya catatan khusus dari P2G tersebut menjadi sebuah peringatan serius kepada pihak Kemendikbud Ristek untuk mampu menjalankan program ini dengan maksimal dan bukan hanya mengumbar janji manis semata.
Program lainnya yang terus digaungkan ialah program "Kampus Merdeka". Dikutip dalam laman resmi Kampus Merdeka dikatakan bahwa Kampus Merdeka merupakan bagian dari kebijakan Merdeka Belajar oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia yang memberikan kesempaatan bagi mahasiswa/i untuk mengasah kemampuan sesuai bakat dan minat dengan terjun langsung ke dunia kerja sebagai persiapan karier masa depan. Program ini sejatinya terdiri dari beberapa kegiatan yang bisa diambil mulai dari Magang Bersertifikat, Studi Independen, hingga program pertukaran mahasiswa maupun proyek-proyek sosial lainnya. Program Magang dan Studi Independen menjadi program yang memiliki minat dan daya tarik sendiri.
Program magang yang ditawarkan dengan berbagai nama besar perusahaan atau mitra ditambah adanya kesempatan konversi SKS hingga tunjangan uang saku menjadi suatu daya tarik tersendiri bagi mahasiswa. Namun program magang ini seringkali terdapat permasalahan yang justru merugikan dari sisi mahasiswa. Berbagai permasalahan yang sering terjadi ialah uang saku yang turun terlambat hingga beban kerja yang terlalu banyak. Bahkan terkadang penjelasan antara deskripsi pekerjaan pada saat proses penawaran dan pekerjaan asli yang dikerjakan saat magang juga sering kali berbeda. Permasalahan konversi SKS dimasing-masing kampus juga sering menjadi problematika tersendiri.
Konversi yang diberikan terkadang tidak bisa maksimal 20 sks sehingga membuat mahasiswa harus menanggung beban SKS lainnya sekaligus melakukan kegiatan magang. Namun apabila mitra tidak memperbolehkan mengambil SKS di kampus maka ada konsekuensi "Telat Lulus" yang harus diambil oleh mahasiswa.
Sebuah survey dari Multatuli Project bahkan mendapatkan data keluhan bahwa mahasiswa merasa mereka diperlakukan sebagai 'buruh murah': mereka dibebani tanggung jawab pekerjaan yang sama, bahkan lebih banyak, dari pekerja yang sudah berstatus tetap di perusahaan. Belum lagi persoalan pelecehan seksual juga menjadi salah satu permasalahan yang terjadi dalam kegiatan ini.
Survey yang dilakukan oleh project Multatuli juga menemukan bahwa pelecehan seksual juga menjadi permasalahan dalam program ini apalagi pelecehan secara verbal. Kasus pelecehan bisa diibaratkan seperti gunung es dikarenakan ada rasa takut ketika harus melapor. Apalagi jika yang mengalami adalah peserta magang dan yang melakukan adalah pegawai atau senior di perusahaan maka akan ada rasa sungkan atau takut untuk melaporkan hal tersebut. Tak hanya dalam program magang saja, kasus pelecehan ternyata juga terjadi dalam program pertukaran mahasiswa merdeka di tahun 2021.
Dilansir dalam laman resmi CNN Indonesia dikatakan bahwa Sejumlah mahasiswi dari berbagai perguruan tinggi yang mengikuti Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) dalam program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) diduga mengalami pelecehan seksual.
Berdasarkan penuturan korban, mereka direkam saat berada di dalam kamar mandi. Kala itu, mereka tengah menjalani program pertukaran pelajar di Universitas Negeri Makassar (UNM). Kasus ini tentunya menjadi tamparan tajam dibalik diksi "Merdeka" yang disematkan pada program ini. Program studi independen juga tak luput dari berbagai polemik.