Demokrasi dan Indonesia merupakan dua kata yang seakan tak terpisahkan satu sama lain. Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar yang ada di dunia. Berbagai peristiwa politik yang terjadi di Indonesia tak jarang menjadi pemberitaan dunia. Namun dalam beberapa tahun belakangan kondisi politik nasional semakin kusut dan semrawut. Di mulai dari politik identitas yang makin meruncing hingga perpecahan pasca kontestasi politik yang makin tak bisa dihindari.
Pada tahun 2019 misalnya ketika pemilihan presiden berlangsung situasi politik nasional mulai memanas. Kondisi itu bahkan terjadi hingga ke lapisan bawah masyarakat. Kontestasi yang seharusnya penuh dengan gagasan namun dunia digital maupun panggung politik justru penuh dengan ujaran kebencian. Efek tersebut masih bisa kita rasakan hingga saat ini ketika ruang-ruang demokrasi justru dipenuhi dengan para buzzer yang merasakan masyarakat.
Penurun kualitas demokrasi Indonesia bukan sebuah isapan jempol belaka. Dilansir dari Liputan6.com dalam sebuah laporan mengenai indeks Demokrasi 2020 telah dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU) bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6.3. Meski dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun skor tersebut menurun dari yang sebelumnya 6.48. Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat. Fakta demikian menjadi suatu catatan miris bagi Indonesia.
Selain itu belum lama ini Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan agar masyarakat lebih aktif dalam menyampaikan kritik kepada pemerintahan. Namun ucapan presiden tersebut justru menimbulkan banyak polemik di masyarakat. Hal itu dikarenakan sepanjang tahun 2020 saja sudah banyak kegiatan penyampaian pendapat yang dilakukan oleh masyarakat baik melalui cara diskusi maupun demonstrasi. Oleh karena itu pernyataan presiden Jokowi agar masyarakat lebih aktif dalam kritik terkesan salah sasaran.
Dilansir dari Tempo.co Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Rivanlee menilai kondisi flawed democracy menandakan bahwa penerapan demokrasi di Indonesia masih pada tahap prosedural. Pemerintah, kata Rivanlee, juga masih memaknai demokrasi sebatas partisipasi dalam pemilu. Di luar itu, kebebasan berpendapat, berkeyakinan, dan kebebasan sipil lainnya dianggap bagian terpisah dari demokrasi.
Selain itu sinyal memburuknya iklim demokrasi Indonesia juga datang dari hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada Oktober 2020. Hasil survei menunjukkan mayoritas masyarakat setuju bahwa mereka makin takut menyampaikan pendapat. Sebanyak 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa warga makin takut menyatakan pendapat. Kemudian sebanyak 21,9 responden menyatakan bahwa warga sangat setuju makin takut menyatakan pendapat.
Salah satu yang membuat masyarakat takut bersuara karena banyaknya pasal multitafsir yang ada dalam UU ITE. UU ITE kerap dipakai untuk menjerat pihak-pihak yang mengkritik pemerintah. Catatan KontraS, hingga Oktober 2020, ada sebanyak 10 peristiwa dan 14 orang yang diproses karena mengkritik Presiden Jokowi. Lalu dari 14 peristiwa, 25 orang diproses dengan obyek kritik Polri, dan 4 peristiwa dengan 4 orang diproses karena mengkritik Pemda.
Mereka diproses dengan penggunaan surat telegram Polri maupun UU ITE. UU ITE seakan menjadi momok bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat mereka. Hal itu langsung ditanggapi oleh Presiden Jokowi dengan mengeluarkan "Wacana" revisi UU ITE. Namun wacana ini seakan belum bisa mengembalikan respon positif dari masyarakat. Hal itu dikarenakan pemerintah berusaha membentuk 2 tim yaitu tim kajian dan tim penyusunan pedoman interpretasi UU ITE.
Pembentukan tim pedoman interpretasi UU ITE membuat masyarakat pesimis bahwa revisi UU ITE akan dapat berjalan dengan mulus. Dilansir dari kompas.com Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengkritik rencana penyusunan pedoman interpretasi atas UU ITE.
Menurut Erasmus, pemerintah seharusnya mencabut pasal-pasal karet, bukan membuat pedoman interpretasi. Erasmus berpandangan, pemerintah akan sulit untuk menentukan standar interpretasi terhadap tindak pidana yang terkait ekspresi dalam UU ITE. Misalnya, soal penghinaan, perbuatan menyerang kehormatan seseorang dan ujaran kebencian. Berdasarkan fakta tersebut maka adalah suatu kewajaran jika terdapat keraguan dalam masyarakat tentang revisi UU ITE tersebut.