Lihat ke Halaman Asli

Fauzan Widyarman

sesekali menulis

Mengejar Ketinggalan

Diperbarui: 31 Januari 2021   20:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan ini penulis maksudkan untuk menilai pelayanan kereta komuter atau biasa disebut KRL di Jabodetabek. Sejak lulus SMA dan melanjutkan kuliah, hampir setiap hari kerja saya menggunakan KRL sebagai moda perpindahan dari rumah ke kampus. Awal mulanya sekira tahun 2011 atau 2012 saat itu masih terdapat tiga jenis KRL; ekonomi, ekonomi AC, dan ekspres. Karena tujuan ke Depok maka saya menggunakan antara dua jenis pertama. 

Saat itu saya masih merasakan pelayanan KRL sebelum seperti sekarang. Karena keadaan Stasiun Bogor yang cukup kumuh waktu itu, naik KRL saya rasa seru sekaligus repot. Penilaian saya KRL nya sudah cukup memadai, hanya stasiun nya yang perlu banyak perbaikan.

Tiket waktu itu masih berbentuk kertas kecil yang dilubangi oleh petugas security di dalam KRL satu persatu. Sedangkan suasana di dalam stasiun cukup semrawut. Banyak pedagang asongan hingga peminta-minta masuk KRL sebelum berangkat. Mereka baru keluar jika KRL akan berjalan. Sedangkan di kelas ekonomi mereka bisa ikut sampai tujuan akhir, misal kalau dari Bogor ya di Jakarta Kota. Fasilitas seperti toilet dan musala seadanya saja, padahal selalu penuh misalnya saat magrib.

Saya merasa suasana seperti itu sangat jauh bedanya dengan KRL di negara-negara maju, Jepang misalnya atau setidaknya Malaysia yang masih negeri jiran. Apa keadaan seperti itu tidak bisa berubah? Memang jika dibandingkan, masih ada juga negara yang pelayanan KRL nya lebih buruk dari Indonesia. Tapi tentu harusnya kita merasa malu bila ada tamu asing seperti wisman yang datang ke negara kita dan disuguhi penampilan begitu.

Seingat saya perubahan besar-besaran di KRL mulai terjadi tahun 2013. Terus terang saya sendiri sempat terkejut dengan aturan-aturan baru yang berlaku seperti tiket menggunakan kartu, yang kemudian diubah menjadi berjaminan, hingga pelarangan pedagang asongan di dalam stasiun. Mungkin masih banyak yang ingat betapa ributnya dulu ketika aturan baru tersebut dijalankan terutama penggusuran kios-kios pedagang di stasiun.

Di Stasiun Bogor yang ikut berbenah, pedagang koran jadi tidak ada lagi di dalam stasiun. Kios yang digusur berubah menjadi lahan parkir yang cukup luas, sekarang bahkan bertingkat untuk parkir motor. Tak lupa juga musala dan toilet yang dibangun baru, tentu lebih baik dari yang sebelumnya. Saat itu memang banyak pujian sekaligus kontroversi bermacam perubahan yang sedang terjadi.

Hingga tulisan ini ditulis, kira-kira sudah lebih dari tujuh tahun saya rutin menggunakan KRL. Meski masih ada yang perlu dibenahi, upaya untuk mengejar ketinggalan seperti diawali pada 2013 lalu harus konsisten dan benar-benar menyentuh kebutuhan penumpang. Saat ini kita bisa bangga jika KRL sudah hampir menyamai di negara-negara maju, termasuk toilet yang gratis. Pelayanan sudah naik kelas bahkan muncul beberapa inovasi baru.

Penumpang tentu mengharapkan ketepatan waktu perjalanan KRL yang semakin baik, stasiun semakin bersih dan nyaman, dan keterpaduan antarmoda sehingga memudahkan pergerakan penumpang. Dengan didukung sumber daya manusia yang profesional, semoga ke depan akan terlihat semakin banyak kemajuan pelayanan KRL Jabodetabek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline