Lihat ke Halaman Asli

Fauzan Widyarman

sesekali menulis

Santri ‘Melawan’ Kyai

Diperbarui: 18 Juni 2015   08:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan ini sebenarnya terinspirasi dari kebiasaan di lingkungan pesantren atau kaum santri. Seperti yang kita ketahui jika di lingkungan pesantren, tokoh kyai adalah guru, pemimpin, maupun panutan di lingkungannya. Apalagi bagi kyai yang sudah dikenal setingkat nasional, bisa puluhan ribu santrinya. Atau kyai yang dikenal setingkat lokal atau regional juga tidak sedikit yang memiliki santri ribuan.

Saking dihormatinya seorang kyai, bisa jadi lebih dihormati dari orangtuanya sendiri. Saya pernah diceritakan seorang sopir waktu di Surabaya, “orang-orang Madura itu lebih menghargai kyainya daripada orangtuanya sendiri.” (versi sopir tsb). Tapi menurut saya perilaku itu masuk akal juga jika melihat lingkungan santri, karena orangtua santri itu juga menjadikan kyai tersebut sebagai panutan. Jadi dia memaklumi saja jika anaknya lebih menghargai kyainya. Justru menjadi kebanggaan jika anaknya bisa menjadi ‘murid kesayangan’ kyai yang mendampingi kyai kemana-mana atau jadi asistennya.

Sampai suatu saat saya pernah baca salah satu budaya di Indonesia; “kyai tidak pernah salah.” Wah kalau ini mungkin ada maksud menyidir sedikit. Memang ada benarnya juga, jika di pesantren kata-kata kyai adalah perintah yang harus dipatuhi atau sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami ikuti). Bayangkan jika sedang ada pengajian yang dihadiri ribuan orang, lalu kyai berkata satu kalimat saja yang intinya adalah perintah atau ajakan, maka lihatlah efek yang akan muncul dari kata-kata itu. Semua atau mayoritas orang akan langsung mematuhi seperti prinsip di atas. Bagi orang yang ragu-ragu, maka akan muncul penjelasan, “kyai lebih tahu dari kita, beliau kan pernah jadi santri juga.” Budaya seperti itu diperkuat lagi dengan kebiasaan sebagian besar masyarakat Indonesia yang penuh rasa menghormati, terutama ke orang yang lebih tua.

Tapi perlu dipikirkan lagi. Untuk bisa menjadi kyai itu tidak mudah. Meskipun dia keturunan langsung kyai, bukan berarti otomatis jadi kyai karena berdasar keturunan. Seorang bisa disebut kyai karena dia pernah menjadi santri dulunya. Dia harus belajar kitab-kitab mulai dari Qur’an, hadis, hingga kitab-kitab lainnya. Prosesnya bertahun-tahun. Selain itu dia juga harus berpindah-pindah guru dan pesantren, bahkan hingga keluar negeri. Perlu sikap yang konsisten, pikiran dan perasaan yang jernih dan ikhlas. Nah apakah semua santri sanggup begitu?

Itulah kenapa dan bedanya orang-orang yang berilmu, sampai sudah mati pun makamnya masih ramai didatangi orang. Sering kita lihat di jalan ada bus-bus ziarah menuju makam-makam kyai yang jumlahnya puluhan, didatangi ribuan orang dalam waktu bersamaan. Misalnya, makam kyai di Madura, peziarahnya datang dari Medan. Bisa dibayangkan juga perputaran uang yang terjadi pada ritual itu, bisa mencapai ratusan juta.

Nah apakah dengan begitu istimewanya seorang kyai hingga disebut tidak pernah salah? Kalau santri yang salah, siap-siap menerima hukuman. Tapi kalau kyai yang salah, harus hati-hati. Santri bisa membuktikan kyainya salah tanpa harus membuat kyai tersebut malu. Kyai juga manusia biasa, wajar-wajar saja kalau salah atau lupa. Seperti manusia biasa juga, ada kyai yang bisa menerima jika memang dia salah. Namun ada juga yang tidak bisa menerima. Tipe kedua inilah yang kadang-kadang buat santri atau lingkungannya kelimpungan. Harus membela kyai, tapi nuraninya bilang itu sesuatu yang salah. Kalau berani ‘melawan’, maka akan dianggap kurang ajar dan dimusuhi santri-santri lainnya yang masih loyal ke kyai, suatu saat dia tidak akan dihargai lagi dan dianggap pengkhianat. Perlu diingat resiko ini bukan masalah kecil (di lingkungan pesantren).

Hal demikian memang tidak jarang terjadi. Banyak penyebab dan kepentingannya, tiba-tiba kyai bersikap begitu keukeuhnya dan dengan sendirinya muncul kesimpulan siapapun yang berani menentang maka dia pengkhianat. Menurut saya sendiri, salah satu penyebabnya adalah kyai yang sudah semakin sepuh belum bisa mengikuti perkembangan zaman yang begitu cepat, sehingga pola pikirnya masih seperti zaman sebelumnya. Biasanya ini akan berbenturan dengan santri-santri yang lebih muda yang pikirannya lebih terbuka dan menyesuaikan zaman yang berkembang.

Salah satu contohnya kasus pengharaman Facebook beberapa tahun lalu. Beberapa kyai membuat fatwa Facebook haram. Ternyata penyebabnya karena adanya praktek nikah siri lewat Facebook. Secara umum tidak ada yang salah dengan Facebook sebagai media sosial, yang salah ya pengguna yang menggunakan Facebook untuk hal-hal yang dilarang agama. Tapi hal seperti itulah yang kemudian ditangkap para kyai yang mengharamkan Facebook. Padahal banyak santri yang punya akun Facebook jadi kebingungan.

Jadi untuk ‘melawan’ sesuatu yang dianggap salah dari kyai itu memang harus hati-hati. Santri tidak ingin hanya karena satu urusan jadi membesar kemana-mana, dan akhirnya hubungan baik jadi rusak. Memasuki tahun politik seperti sekarang, fenomena begitu bisa jadi bermunculan. Jangan sampai hanya karena perbedaan pilihan politik, kyai dan santri jadi punya sikap yang berlebihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline