Lihat ke Halaman Asli

Di Balik Siraman Kuah Ketupat

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13455173751239044163

Sumber gambar: http://www.kaskus.co.id/showthread.php?t=15579725

Hanya dalam hitungan menit, tak terasa sebentar lagi lebaran akan turun ke bumi. Miliyaran takbir akan terucap dari jutaan mulut yang akan melepaskan suka cita. Entah lewat corong masjid, karnaval keliling kota atau sambil mengaduk-ngaduk adonan kue semprit atau kue loyang kejar tayang, semua bersuara. Tak peduli rapor puasa akan seperti apa, yang jelas semangatnya sudah lebih dulu mengenakan kupiah dan baju koko sambil merapatkan tangan ke dada membentuk segitiga pengajuan maaf kepada siapapun yang datang menyapa. Itulah lebaran. Sejauh mata memandang akan dipenuhi suka-cita. Dapur-dapur akan mengepulkan uap kaldu. Kue-kue kering yang manis-manis dan berbedak gula tak pernah absen membanjiri ruang tamu. Kalau boleh dibilang ini sebentuk pesta pora, itu tidaklah keliru. Karena memang ini adalah selebrasi spritualitas yang berpadu dengan semangat gigantik untuk meluapkan semua yang selama ini tertahan.

Ribuan arus migrasi lokal akan disesaki oleh semangat lebaran. Semua tampak beradu cepat sampai ke tempat semula. Entah itu melalui pintu darat, laut, atau udara, semua kursi laris manis terjual. Pemandangan ini akan terjadi setiap tahun, inilah puncak kepadatan perpindahan umat sepanjang waktu. Tak banyak yang tahu darimana kebiasaan ini bermula. Bila dibilang tradisi, ini bukanlah sesuatu yang dicontohkan oleh daerah asal ajaran ini berasal. Tak ada keharusan bagi kaum bersorban di pertengahan timur itu yang berbondong-bondong untuk berkunjung ke kampung melihat sanak saudaranya untuk bersalam-salaman atau melepas rindu dengan sup onta. Namun inilah Indonesia. Keislaman disini sangat unik dan wajar untuk kemudian menjadi unik. Memiliki populasi muslim terbesar di dunia dan lebih dari 82 % jumlah penduduknya sendiri berafiliasi dengan ajaran ini, adalah jumlah yang besar untuk dikapitalisasikan membuat gaya-nya sendiri. Apalagi jumlah yang besar itu didominasi oleh kaum muda yang gemar berpindah tempat dan berkeliling kota serta beranak-pinak disana. Jelas arus migrasi masyarakat urban yang tinggi ini akan melampaui kurva kemapanan yang tercatat dalam data BPS. Sepintas , Indonesia tampak lebih kaya dari yang seharusnya. Atau memang seharusnya bentuk kemajuan seperti inikah yang dirindukan oleh segenap umat dimana uang mengalir cepat, jamuan makan gratis hadir dimana-dimana, setiap rumah yang dikunjungi akan selalu tersedia air berwarna dan yang lebih penting: orang-orang tampak lebih jadi pemaaf tanpa diminta, serta polisi lebih rajin mengisi pos jaga 24 jam di tikungan keramaian? Wallahualam, di kemerdekaannya yang kali ke-67 sepertinya masih ada harapan menuju ke sana.

Dinamika Pemudik

Alasan klasik yang bisa menjawab pulangnya masyarakat urban ke kampungnya masing-masing adalah: rindu kampung halaman. Ini merupakan kenyataan yang tak bisa dipungkiri dimana naluri primordial setiap kaum selalu menyisakan ruang untuk terpanggil ke daerah asal. Ruang emosional yang setiap tahun meluap ke wajah-wajah perantau. Seakan ada bisikan magis yang menyeru mereka untuk melihat ruangan tempat bermain masa kecilnya. Bila didalami lebih jauh, kerinduan untuk ke rumah ini lebih filosofis dari sekedar kunjungan fisik semata. Bahwa ada keinginan bagi mereka untuk mengisi ruang rindu yang tak bisa disisipi oleh kehidupan gemah-ripah di belantara beton. Bahwa mereka rindu untuk kembali menjadi anak kecil yang dimanja, entah itu dalam bentuk masakan bersahaja dari ubi, singkong, dan dedaunan pucuk atau hidangan pamungkas ketupat lebaran yang disirami kuah gulai yang siap disantap tanpa menunggu aturan protokoler. Ada kerinduan untuk menjadi fitrah, mengembalikan rumah bagi jiwa, the place where souls find home at. Mungkin untuk sekeping kerinduan itu pula pemudik rela melintasi ribuan kilometer di tengah paparan hawa puasa melesat-lesat sambil membawa “oleh-oleh kota” menembus hutan menuju kampung. Peluang itu juga kemudian yang ditangkap oleh dealer motor untuk berjualan. Mereka akan gigih mendatangi calon pelanggan dan merayu pembeli lewat gadis-gadis penjual yang menor-menor dan seringkali datang dengan pakaian tak lengkap. Atas nama lebaran, selalu ada alasan untuk berjualan. Semua harga barang merangkak dengan anggun dan dihias dalam kemasan nothing to lose. Bahkan beberapa barang yang sudah ada pun bisa dijual ditumpuk menjadi satu parcel yang biasanya diberikan kepada orang-orang tertentu. Untungnya peredaran parcel ini belakangan sudah dikurangi nominalnya. Ada kecenderungan hadiah ini dibagikan dengan niat koruptif dan nepotisme. Agak kurang fair rasanya bila calon mertua menentukan pilihan kesukaannya pada anak bujang yang mengantarkan parcel setinggi kursi gajah. Pemudik emosional selalu tergelincir menjadi sasaran empuk tenaga penjualan.

Membonceng Misi Suci

Berapa jumlah uang yang mengalir selama mudik? Pastinya tidak sedikit. Semua pergerakan selama menyambut lebaran selalu bernilai uang. Sejatinya tidak ada makan siang gratis. Namun hebatnya lebaran, semua pundi-pundi kesejahteraan bisa mengucur dari sudut tak terduga untuk membeli kerinduan itu. Alhasil, pada saat itu akan ada makan siang gratis bagi yang mau berjalan dari rumah ke rumah. Mereka tak peduli lagi apakah THR akan cukup atau tidak, bahkan tak sedikit menggali lobang ke kartu kredit guna memperkuat daya beli. Yang jelas bisa menampakkan muka ke orang-orang di kampung bahwa Si Fulan anak Si Fulanah telah jadi orang. Maka dengan demikian, mudik juga menjadi agenda politis bagi sebagian orang untuk menjaring simpati. Tak jarang bagi lajang yang berkarir di kota besar memanfaatkan momentum emas ini untuk menjual diri ke calon mertua beserta keluarganya. Misi ganda yang mereka bawa: selain menikmati ketupat calon mertua, juga mencari celah kosong untuk melamar anak gadisnya. Biasanya ini dilakukan saat luang dan tidak banyak pengunjung lain yang bertamu ke rumah. Misi terselubung seperti ini seringkali terjadi setiap tahun pada diri sebagian anak bujang. Dan dalam misi ini, jarang yang pulang dengan muka tertunduk. Pasti beberapa bulan setelah itu akan terdengar kabar undangan makan gulai kambing kepada handai taulan. Lebaran betul-betul membuat orang mudah mensyukuri nikmat yang ada dan memaafkan segala ketidaksempurnaan, sambil berupaya melihat dengan sesempurna mungkin kebaikan yang tersedia....hehe, Carpe diem...!!

Dan pada akhirnya, sebelum matahari terbenam, ada baiknya kita membentangkan tangan ke langit untuk sekedar berterimakasih sambil menghirup lembut udara senja yang kita nikmati sepenuh hati di penutupan bulan dimanapun mudik kita berlabuh tahun ini.

Selamat Menikmati Kembali Kerinduan Ruang Masa Kecil Yang Fitrah. Mohon Maaf Lahir dan Batin (dengan tangan bersedekap membentuk segitiga ke dada)….

Banjarmasin, 18 Agustus 2012




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline