Gambar dari sini. Silakan baca Bagian I terlebih dahulu..^_^ Kampus Oxford yang terletak di jantung kota Oxford Inggris ini begitu fenomenal dengan sederet prestasi nobel yang diraih oleh para alumni-nya. Berbagai temuan teori baru dan sains terapan bertumpuk memenuhi ruangan perpustakaannya yang terkenal, The Bodleian Library, salah satu perpustakaan referensi tertua di Eropa. Tentu saja buku-buku itu dirawat dengan telaten, dengan pengatur suhu ruangan terkontrol, agar tidak lapuk dimakan kutu atau ditelan waktu. Dan pastinya manajemen perpustakaan itu telah terkomputerisasi dengan baik. Petugas penjaga yang ramah dengan senyuman hangat terdidik mempermudah pengujung yang tidak hanya mahasiswa Oxford saja, tanpa ada pembedaan strata sosial untuk mengakses data-data ilmiah yang selalu mengikuti kemajuan zaman. Maka tidak jarang sebagian besar literatur kitab pegangan dosen-dosen di Indonesia pun memakai buku terbitan Oxford. The University of Oxford terdiri dari beberapa college. Semua college itu memiliki nama tersendiri, disiplin ilmu tersendiri, tetapi masih berada di dalam bendera besar pelambang integrasi, The University of Oxford, yang telah memulai kegiatan belajar mengajarnya sejak tahun 1249 M. Secara keseluruhan terdapat 36 college yang bernaung di bawah langit-langit Oxford. Aroma sejarah dan perpaduan seni membalut kental dengan disain artikulatif pahatan berkelas yang tertempel rapi memenuhi bentuk bangunan perkuliahan dan koridornya. Dengan pilar-pilar besarnya yang kokoh, bangunan gothic itu tampak semakin perkasa melambangkan kejayaan pengetahuanimperium Romawi yang membekas dalam kebesaran The British Empire. Mulai dari patung peri kecil bersayap yang tersenyum, raut muka dewi-dewi yunani yang cantik, hingga postur manusia gagah berpakaian romawi lengkap dengan jubah-jubah besarnya siap menanti tamu yang menjamahi negeri ini. Maka tak salah bilamana dengan kemajuan sains itu kerajaan Inggris mulai merambah dan menancapkan kuku kekuasaannya hingga ke “terra incognito” wilayah tak bertuan sekalipun. Dengan demikian pula, penamaan pulau kecil di pacific lebih cenderung menyerupai nama-namatokoh pembesar dari negeri empat musim, The United Kingdom. Negeri tumpuan harapan kebangkitan eropa yang telah memutuskan rantai kegelapan setelah keruntuhan romawi pada abad ke lima masehi dengan menjadikan kelompok belajar ilmiah dalam bangku akademi di akhir medieval (abad pertengahan) dan segera menyambut renaissance abad ke 16, pencerahan. Maka berada di kampus ini seakan melemparkan kita memasuki lorong waktu dan menyentuh keajaiban manusia zaman dulu yang menyatukan karya seni agungyang romantis khas Eropa Barat dan mengawinkannya dengan sains. Sebuah kolaborasi yang cantik dan anggun, mengagumkan. Gambar dari sini. Dan lagi sebuah kontradiksi pun terjadi di sini, di saat kemajuan teknologi Inggris mampu menyulap semua mekanisme menjadi serba berbau digital, namun bila berpadu dengan karya seni ratusan hingga ribuan tahun yang lampau, sungguh memberikan kekuatan kharisma yang unik, eksotis, tapi modern. Di Catte street misalnya, ada sebuah bangunan gothic berkubah besar yang menjadi ikon dari kampus Oxford, Radclife Camera-yang sepintas seperti bangunan kubah mesjid di Indonesia-di bangun pada abad ke-13 namun begitu anggun berdiri dengan rumput hijau yang menyejukan mata terbentang indah di depannya. Di sana bisa ditemukan koleksi peninggalan antar peradaban, manuskrip kuno lintas generasi. Di Oxford, ribuan kesempatan telah membuka peluang bagi manusia-manusia di dalamnya untuk merubah warna dunia, begitu jauh meninggalkan peradaban medieval, melintasi komunikasi verbal hingga menyentuh teknologi digital. Mereka menciptakan peradabannya sendiri, menciptakan “warnanya” sendiri. Tamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H