Lihat ke Halaman Asli

Lazuardi di Tepian Danau Bag. 5: Kesaksian Tiga Api di Matanya

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13264929371034969232

Bagian 1, Bagian 2, Bagian 3, dan Bagian 4 Segala doa-doa mustajab telah kukirim untuk meminta restu ke langit di Sabtu itu. Aku menyempatkan diri ke toko kue La France Bakery. Disana, aku dihadapkan ke haribaan aneka kue yang namanya, kalau disebut, membuat lidah terkilir. Satu pesanan Swiss Roll Bread beserta lilin terbungkus dalam kemasan rapi. Lihat, Teman. Jika kesatria Celtic berjalan dengan gagah penuh bara dengan menenteng pedang dan panah di selempangnya, aku datang dengan segenap cinta dan menenteng bungkusan kantong kresek berisikan kue ulang tahun. Si Tulip itu berhari lahir di sabtu ini. Hari suka cita baginya. Aku telah mempersiapkan segenap pidato kemenangan seandainya pertempuran ini di pihakku. Bukan main-main, Teman, ini adalah pertaruhan. Aku berjudi dengan nasib. Bukan tidak mungkin Dewi Fortuna akan terkekeh-kekeh. Jika segala amunisiku lenyap, aku ditendang keluar, dan pulang dengan muka tertunduk kuyu. Khatam sudah impian luhur itu. Aku jadi teringat kisah pendaratan ribuan tentara sekutu, di bawah komando Eisenhover, di pantai eksotis Normandie Prancis. Operasi itu sangatlah penting bagi nasib Eropa yang dirudung awan gelap semburan Hitler. Penyerangan melewati Selat Channel itu sangatlah dirahasiakan. Bahkan tentara yang akan ditugaskan untuk menyeberang saja, tak satu pun diberi tahu kemana mereka akan dikerahkan. Mereka hanya diberi kesibukan mempreteli tank baja, pesawat pembom, dan lari pagi untuk mengecilkan perut serta berenang, agar tidak megap-megap di lautan perang. Hanya pucuk-pucuk elit militer saja yang tau. Mereka sadar bahwa yang dihadapi bukanlah tentara bambu runcing yang sering cacingan, melainkan orang-orang fasis yang banyak memproduksi insinyur kondang di jagad ini. Tak heran, produk-produk Jerman adalah jaminan mutu; kerapian kualitasnya tak terkalahkan oleh Inggris sekalipun. Kereta api Si Binuang yang wara-wiri ke Pariaman adalah besi tua jebolan Jerman, awet tak terbantahkan. Aku bisa membayangkan kegundahan hati seorang Eisenhover yang hening di balik meja kerjanya sendirian. Sementara serdadunya harus dipertaruhkan, tidak hanya uang dan nyawa, tapi juga kerinduan seorang ibu yang merelakan anaknya ke medan perang tentu berharap anaknya pulang dengan utuh dan bisa segera punya bini. Lihat, teman, betapa tidak nyamannya menjadi jenderal, tak punya kawan bercerita lepas. Kesepian, di sudut ruang yang terasingkan. Satu beban hidup yang tak dirasakan prajurit: jenderal yang baik, jarang bisa tidur nyenyak. Aku tambahkan, sejatinya kantung matanya juga berjumbai-jumbai. Dan yang menarik dari peristiwa, yang kemudian dikenal dengan nama D-Day itu, adalah bahwa betapa dalam pengiriman pasukan terbesar dalam sejarah perang itu tidak hanya memikirkan bagaimana musuh bisa dijatuhkan, tapi bagaimana supaya tentara-tentara ini bisa mendarat tanpa patah tulang dan menyusup daerah lawan. Untuk urusan taktis seperti ini, Inggris adalah juaranya. Dengan rapi, mereka bisa mengorganisir manusia-manusia penuh nafsu itu bak percobaan di laboratorium. Tentara itu, kalau tidak ingin pulang dalam kantung mayat, harus taat aturan. Hebat bukan main, Teman. Tak salah bila negara yang sepintas mirip cetakan kue semprit emak menjelang lebaran itu bisa menguasai hampir separuh bumi. Tak heran pula mengapa di jaman kini banyak anak muda yang senang mengidentikkan diri bergaya british, aku mengira: biar disebut lebih canggih dan bebas dari endemik cacingan. **** Aku berusaha menyelaraskan irama jantung. Ini penting bagiku, teman. Kelemahanmu akan segera terbaca bila kau tampil gugup, satu gertakan “skak” saja, langsung angkat kopor. Aku juga mati-matian memantaskan diri dengan dada tegap, membuka pagar, dan berdiri di depan teras, menunggunya membukakan pintu. Teman, seperti yang kukatakan, ini bukan jadwal kencan, bukan pula ajakan untuk kawin lari, apalagi belajar kelompok. Aku membawa misi lain, tentang masa depan anak cucuku. Keberanian Eisenhover membajak pikiranku. Cklek…daun pintu itu bergerak, badanku terasa kaku. Aku memasang muka cerah dan senyum mengembang khas pramugara Garuda. Kubayangkan akan tampil di hadapanku sosok lembut berjumbai merah segar yang menyilakanku masuk sembari menyanyikan kidung mesra selamat ulang tahun Katon Bagaskara. Namun, bayangan liar itu lenyap, berganti sepasang piyama dan jilbab sorong yang menyapaku dengan tatapan heran…”Selamat Pagi”. Harga emas langsung terjun bebas ke level terendah. “Manusia boleh berencana, Tuhan berkehendak lain,” aku membatin. Selebrasi pun dimulai. Aku mengutarakan niat untuk merayakan ulang tahunnya. Tentunya diawali dengan pertanyaan basa-basi..”Sudah sarapan? Mandi? Cuci piring?Siram bunga?..atau “Ga kemana-mana nih?”...dan yang tak kuharapkan…”Ada yang ngajak kemana di bawah terang rembulan nanti malam? Semua tanya itu kuborong dengan jawaban terkunci. Ritual pun berjalan dalam kebersahajaan. Gelas beda corak berisi air putih terhidang di meja duduk. Kami duduk dalam formasi melantai. Aku menyerahkan bungkusan berisi kue gulung yang dibedaki gula tepung tersebut. Tak lupa kutancapkan 3 potong lilin yang kuminta gratis pada pelayan toko tadi. Sengaja tak kuminta lilin berangka. Konon ketika kutanya ke Mbah Google, wanita sangat sensitive terhadap umur. Ini adalah ulang tahunnya yang ke 27. Jenjang usia yang sudah kelewat matang untuk ukuran gadis Minang yang siap untuk dikawinkan. Kalau di kaki Gunung Kerinci, pada usia ini, perempuan sudah dibuahi 3 kali oleh lelaki peladang kayu manis dengan konsekuensi pinggul melebar dan dada turun. Tapi, Teman, Tulip seberang danau ini berbeda, cantiknya masih segar, halus kulitnya masih selembut tepung terigu cakra kembar, rona merah di pipinya..alamak…membuat kesemsem walau dia tak berdandan. Aku tak henti-henti menikmati awal yang menegangkan ini. Kunyalakan api lilin tepat di atas lengkung kue gulung. Kami menyanyikan lagu ulang tahun dengan nada yang tak bisa dikatakan nyaman di telinga normal. Tinggi, serong tak beraturan intonasinya. Kadang nadanya kularikan ke Utara, dia membawanya ke Selatan. Tapi itulah ajaibnya cinta, teman, seganjil apapun ketidakharmonisan itu, tetap berkesan, tak tergantikan. Nyala lilin-lilin itu meliuk-liuk kesana-kemari. Apinya tampak membakar udara lembab yang dihembuskan oleh nafas kami yang berdekatan, begitu hangat terasa di dada ini. Akankah hatinya terbuka untukku? Teman, tak pernah sebelumnya kuhadapi romantisme mendalam seperti ini. ** Kami mulai bercerita. Dari yang ringan-ringan saja. Dia berkata sangat terkesan dengan perayaan kecil ini, aku terharu.  Seumur hidup, ini pula pertama kalinya dalam kenangnya berdua dengan lawan jenis, meniup lilin, dan memotong kue. Dan memakannya sendiri. Sebelum lupa, harus kukatakan, tak ada acara suap-suapan kue seperti yang kita lihat di tivi. Tak seromantis itu, Teman. Aku menyimak, dia bercerita. Tak ada yang lebih damai selain mendengarkannya bercerita, sama halnya dengan membiarkannya menari dan berkeringat atau menyaksikan gemintang berjatuhan di langit utara yang cerah sambil menyandarkan kepala di padang rumput. Aku begitu menyukai keterbukaan ini. Baiklah, Teman. Kini tiba saatnya gilirannku menuangkan semua bongkahan yang mengganjal pikiranku selama ini. Aku mulai berterus terang padanya. Kunyalakan lagi lilin yang padam tadi. Kubiarkan nyalanya menjadi saksi. Kuizinkan mereka membuat kesaksian kelak. Bahwa aku menyukainya. Bahwa dialah yang selama ini merampas malam-malamku dalam terawang kelam. Bahwa aku dihantui oleh romantisme platonic dengan segala bentuk perhatiannya selama ini. Bahwa aku yang telah berani mengucapkan “I love you” di udara waktu itu dan aku diminta untuk membuktikannya. Bahwa sekarang, setelah membuat pengakuan terang-terangan seperti ini, “Apakah engkau akan berubah, manisku?” Dia terdiam beberapa detik. Dadaku kembang kempis. Nafasku tertahan. Aku melihat dengan jelas pantulan cahaya lilin di binar matanya. Tenggorokanku semakin tercekat. Apakah binar haru itu adalah sebentuk penyesalan atau tanda terimakasih atas pengakuan itu, aku tak berani berspekulasi. Apakah dia merasa bersalah kalau saja menolak niatku sehingga timbul konflik di batinnya dan hanya berani memunculkannya lewat kaca jiwa itu? Aku tak tahu persis. Hhm…sejenak hening menguasai ruangan, menggurui kami untuk tidak ceroboh dan berkata lebih jauh tentang perasaan. Cinta itu bagaikan api, dan api cinta bisa membakar jiwa yang lemah. Cinta itu sejatinya menyembuhkan bukannya melukai. Kalaulah itu melukai, itu pasti bukan cinta, melainkan naluri purba yang juga dimiliki hewan-hewan untuk beranak pinak. Ada konsekuensi logis bila pertemanan baik ini disulam dalam serat madu cinta. Keheningan ini membuatku terasing. Kesepian mahal ini pula mungkin yang dirasakan Eisenhover dengan coretan kertas di mejanya yang mengetuk-ngetukkan jari untuk mendapat secercah pelita dari hati yang benderang menangkap firasat. “Indah suka dirimu, Indah sayang kamu…” ujarnya pelan. Binar bening api tiga lilin memantul-mantul tajam dan kaku di matanya yang sayu sembari dia perlahan menarik pelan otot-otot di bibirnya ke kiri dan ke kanan membentuk lengkung anggun: dia tersenyum manis. Duush….dadaku meletus. Terasa lapang. Bertaburan bunga-bunga harum. Terompet tahun baru serasa bertubi-tubi mengejarku, kertas warna-warni penerima hadiah grand prize serasa disiramkan di atas kepalaku. Aku serasa berjalan di karpet merah untuk dianugrahi Nobel atas penemuanku akan cinta. Madu musim buah. Manis tak terkira.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline