Lihat ke Halaman Asli

Lazuardi di Tepian Danau bag. 1: Pijar Venus Itu Membakarku

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1326164376794645561

4 Desember 2011 Aku mengenalnya tak lebih dari separuh rezim Pak Beye. Berawal dari sebuah perjumpaan biasa dalam keterjepitan. Tanpa getaran ganjil yang bisa ditafsirkan apa-apa. Entah suratan apa yang membuat dia dihadirkan Tuhan Maha Pemurah untuk memainkan perannya untukku, tak pernah kumenduga. Aku bagai pedagang Gujarat yang getir merintis jalur sutra yang kering. Di saat tenggorokanku terasa pekat, datanglah semangkuk air disuguhkan padaku, tanpa ada dinar yang harus kutinggalkan. Dahagaku lepas, kebaikannya membekas. Di pertemuan tak terencana itu, aku memberanikan diri, memperkenalkan diri pada sosok yang kelak di beberapa tahun kemudian membuat kami bergelimang kasih, sebentuk cinta. Sebetulnya, tak ada yang istimewa dari perawakan gadis lembut yang lincah menari ini. Bahkan aku juga tak mengerti rangkaian kimia apa yang secara tiba-tiba membuat loncatan hormon di dalam tubuhku bereaksi cepat, tatkala di suatu kesempatan, aku berjumpa kembali dengannya di pertengahan 2010. Ada goncangan yang mendesir di dada ini untuk berdekatan. Mengenai desiran itu, aku pernah membaca sebuah artikel seorang kandidat doktor di Cambridge, bahwa cinta adalah permainan hormon. Bahwa ketika kemudian aku menjadi sering mengirim sms ganjil ke dia, aku menduga itu adalah perintah hormon yang begitu meluap, untuk menarik simpatinya. Sering aku berpikir dulunya bahwa ini tak mungkin, tidak rasional. Pada kenyataannya, memang ada beberapa jarak di antara kami yang masih belum bisa kucerna dengan baik pada waktu itu. Tapi, serasional apapun itu, dalamnya hati siapa yang tau, Teman. Cinta ternyata tak hirau dengan rasional. Aku nikmati saja kerjaan hormon ini berkuasa. Semakin hari, semakin kuterjerembab dalam. Sampai akhirnya secara membatin, aku benar-benar terjatuh, menyayanginya. Kode-kode Morse dari jemari tangannya yang menyentuhku di penghujung tahun itu, menjalarkan endorfin hebat di kepala. Begitu nikmat. Madu. Aku mulai menyusun kata-kata cerdas untuk meyakinkan dirinya bahwa dia layak untuk menjadi Tuan Putri, tanpa pernah kuberharap banyak apakah aku layak untuknya. Baiklah, harus kuakui, Teman. Kalau dari sekian banyak persyaratan lelaki idaman yang diidolakan oleh para wanita yang siap diajak berkeluarga, aku berada di bawah segala garis kemungkinan itu. Petugas asuransi kerap datang menghampiriku dengan senyum khas dua sentimeter ke kiri dan kanan karena berpikir bahwa aku adalah target potensialnya. Maka tak jarang setiap kali berkunjung ke bank, aku disodorkan berkas-berkas penawaran asuransi. Namun, meski telah menyandang status dewasa penuh, tak banyak yang bisa kujual untuk menaikan rating. Petugas asuransi itu jelas telah tertipu. Dia tak melihat bahwa sepatu yang kukenakan ke bank, jahitannya sudah lepas dan solnya copot sebelah. Betapa aku merasa bersalah setiap kali bertemu petugas asuransi. Bila kuurai segala keelokannya, lebih jauh tentang Tuan Putri, maka tak cukup waktu untuk bercerita dalam secangkir kopi malam. Hangatnya tatapan itu, oh, Teman. Aku yakin pria berotot manapun yang rajin ke fitness centre akan langsung berkeringat dingin dan langsung gemulai menerima curahan sayangnya. Dia seakan punya magnet yang mengundang kejutan listrik untuk langsung menyengat dada. Bak dewi Venus yang memancar silau, aku yakin dia mewarisi sebagian dari kelembutan dewi yang tabirnya belum tersingkap itu. Adalah aku yang malu-malu mengintip semburat binar matanya tatkala kami bercerita empat mata, saling berhadapan. Wajahnya merupakan kepolosan seorang gadis desa yang tak berbiaya mahal dalam berpenampilan. Setepuk bedak bayi dan lotion lidah buaya cukuplah baginya untuk bergerak lincah bersahaja kesana-kemari. Tapi, sekali lagi, Teman. Keelokan lakunya, Masha Allah, sejajar dengan keanggunan Lady Diana yang gemar bersedekah dan kondang mengunjungi orang sakit itu. Begitu benar rasanya jatuh menjatuhi cinta, Teman.” Kau tak akan pernah tau sakitnya luka karena luka telah hilangkan pisaunya”, kata Rendra. Aku yakin rekayasa hormon ini bukanlah tanpa risiko. Sempat berkali-kali aku terserempet bahaya dan terancam gagal dalam dilema. Kalau hanya Cuma aku yang merasakan, aku tak akan tegar menghadapi batu granit rintangan yang menghadang. Dinding-dinding pertahananku bisa roboh seketika, bila tak dikuatkan. Dan kembali, dialah yang dengan santun mengajariku segenap kepercayaan. Percaya bahwa, cinta itu luhur dan agung. Tak cukup kata, cinta harus dibangun oleh lebih dari sekedar reaksi hormon. Lihat, Teman. Bagaimana aku tak menyayanginya dengan segala perlakuan itu. Nikmat Tuhan mana lagi yang harus kudustai, bila dewi Venus ini begitu kuat pijarnya membakarku dalam penyerahannya dari ujung ke ujung, dari pangkal ke pangkal? Aku layak menjadikannya Tuan Putri, dengan lingkar cincin logam mengetam jari, ikrar sebentuk cinta. Kelanjutannya ada di bagian 2 dan bagian 3.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline