Kubaringkan badan di atas ranjang. Menatap langit yang terangnya mulai usang. Tergerus arus waktu yang terus berjalan. Samar-samar menghilang. Mentari. Sudah tak nampak lagi. Pergi.
Namun, hidup belum tamat. Esok hari masih ada harap. Selalu. Seperti itu yang kuharap. Entah. Terserah Tuhan. Karena akupun juga harus sadar; hidup tidak selalu seperti apa yang diinginkan. Tetapi jangan sampai enggan meraih harapan; menopang hari depan.
Seperti biasa, kopi dan senja adalah pertemuan yang dinantikan. Keduanya saling bertemu. Meramu secangkir sajak untuk ditulis. Romantis. Ohh... bukan. Lebih tepatnya sarkastis. Ya, karena ini bukan waktunya. Karena bara dendam ada dimana-mana.
Angkringan kopi yang sederhana, cafe-cafe mewah, berserta ruang-ruang bersantai lainnya. Terasa panas tanpa lubang fentilasi toleransi. Penghuninya disibukkan berargumentasi mengikuti nafsu kehendak sendiri. Tak peduli orang lain bicara apa. Kehendak dan pilihannya seakan telah segalanya.
Suhu di muka bumi semakin bertambah panas. Manusia lupa menggunakan akalnya. Lalai menunaikan ibadah kemanusiaan. Azab perpecahan semoga tidak datang. Hidayah persatuan semoga secepatnya datang. Meski setan politik gagah berdiri di dalam kepala rakyat penghuni negeri. Selagi hati mereka tidak tertutup oleh kefanatikan. Keselarasan hidup dalam perbedaan pastilah terwujudkan.
Kadjen, 18 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H