"Udah makan?"
Aku menghela napas. Dari sekian pertanyaan kenapa harus itu yang ditanyakan? Bolehkah kuakhiri panggilan ini? Aku sedang tak minat berbasa-basi. Namun, orang di seberang sana tak kunjung paham, malah lanjut bertanya. "Kok nggak dijawab? Belum?"
"Sayang, aku matiin, ya," ujarku lelah, memijit pelan pelipis. Pusing setelah merevisi puluhan naskah yang masuk. Manalagi mata mulai berat karena berjam-berjam saling tatap dengan layar laptop.
"Lho, kenapa? Aku masih pengen ngobrol, Sweety."
"Tapi aku capek." Nadaku tertahan, hampir saja emosi meledak. Buru-buru aku meralat sebelum dia salah paham. "Please ngertiin. Aku baru selesai kerja."
"Okelah. Matiin aja."
Akhirnya panggilan terputus. Aku menghela napas. Bergegas meninggalkan meja kerja, segera menuju kasur.
Esoknya aku kembali sibuk dengan pekerjaan. Aku penulis famous di salah satu platform. Selain itu juga berprofesi sebagai editor lepas, pengurus di beberapa komunitas, dan anggota di kelas-kelas menulis. Lima tahun terakhir kesibukanku didominasi dunia maya, melalang buana di dunia literasi. Awalnya hanya hobi, tapi mulai menjadi pekerjaan. Makanya aku mesti tetap aktif dan produktif agar bisa berpenghasilan.
Sibuk mengecek pesan WhatsApp yang masuk, mataku membola mendapati akun penerbit terkenal yang pernah menerbitkan naskahku ada di deretan pesan tertumpuk. Jantungku menggila, ada apa gerangan? Kalimat selamat yang tertera di bagian depan membuatku tegang.
[Halo, Harika! Selamat bukumu yang berjudul "Perempuan di antara Gedung Pencakar Langit" akan masuk cetakan yang kedua sebab tingginya minat pasar dan pembaca. Bagaimana, kamu mengizinkan? Jangan tolak kesempatan besar ini!]
Aku terpengarah. Beberapa detik sunyi oleh keterkejutan. Aku mencoba mengucek mata. Ini ... nyata, bukan? Perlahan bibirku mulai saling tertarik ke samping. Ini bukan mimpi! Aku tertawa, terjeda, lantas tertawa. Masih tidak percaya.