Reuni? Huft ... aku benar-benar malas menghadiri acara seperti itu. Bukan karena sombong dan tidak ingin berjumpa dengan teman lama, tapi memang ada alasan khusus mengapa aku tidak ingin datang. Sesuatu yang ingin kuhindari dan paling tidak ingin kuhadapi, yaitu kenyataan.
Aku membanting diri di kasur. Menghela napas sebentar, kemudian menatap undangan yang diantarkan oleh seorang teman. Tiba-tiba sesuatu menelusup dalam benak. SMA Enam, di ruang kelas Ipa 1 saat jam kosong ketika mataku bertabrakan dengan iris mata cokelat itu. Ah tidak! Aku menggeleng kuat. Memori itu jangan dibangunkan. Segala tentangnya telah memudar.
Lalu entah bagaimana waktu berlalu, kudapati diri berada di tengah keramaian. Teman-teman lama dengan wajah-wajah baru mengisi ruang ini. Tawa memecah dan seorang teman menyenggol lenganku, seperti isyarat bahwa lelucon barusan teramat lucu hingga tawanya seperti mengajakku ikut tertawa. Entah, tapi aku ikut bersuka ria meski bingung bagian mana yang lucu.
Semua telah berubah, kecuali kenangan yang merupakan satu-satunya alasan perkumpulan ini tercipta. Tunggu dulu, sepertinya aku salah. Ada satu lagi yang tidak berubah, yaitu iris mata cokelat yang si empunya duduk di seberang sana. Bukan aku tak sadar tatapannya sedari tadi terang-terangan melihatku. Hanya rasanya aneh, kenapa dia mencoba membuatku terlempar ke masa lalu? Di kelas Ipa 1 saat jam kosong ketika mata kami bertemu pandang. Dia yang saat itu mengenakan seragam putih abu-abu menghampiri dan memberi bunga dari kertas catatannya. Aku menerima meski dia tidak mengatakan sepatah kata dan pergi dengan wajah malu merona.
Aku bingung, maksudnya apa sementara dia terus-terusan menghindar. Lalu seminggu kemudian dia jadian dengan cewek kelas sebelah. Tentu aku kaget. Tidak akan kulupa bagaimana senangnya diberi bunga lalu seminggu kemudian dia punya pacar baru, meski hanya jadian sejam.
Biarpun terlihat biasa saja, tapi sakit yang kuterima sungguh membekas. Dia sudah kusukai sejak lama ternyata memberi luka yang bahkan tidak kuduga. Setelah itu aku selalu menghindarinya bahkan hingga hari ini. Tidak ada alasan khusus selain menjaga hatiku agar tidak terluka lagi. Aku sudah cukup kapok.
Lho, kenapa aku malah jadi flashback sendiri? Harusnya aku tidak perlu repot-repot mengingatnya. Tanpa sadar aku melirik lagi padanya yang ternyata masih menatapku. Astaga, kenapa dia seterus-terang ini?
Tunggu dulu, kenapa dia mendadak berjalan kemari? Aku sedikit tidak siap dengan pergerakan tiba-tiba itu. Sembari berjalan ke arahku, dia ikut menimpali obrolan teman kami dan menciptakan sedikit lelucon hingga kini berdiri di sampingku, tangannya bertumpu di kursi yang kududuki. Semua tertawa dan ikut membalas leluconnya, suasana masih sama meski kurasa ini agak aneh.
Saat hening sejenak, dia bergerak dan kurasa hendak mengubah posisinya. Dia lantas menyapaku, nada suaranya terdengar begitu rindu, dan dia jujur bahwa dia memang merindukanku. Iris cokelat itu seperti mencari sesuatu di mataku, lalu bibirnya tersimpul senyum. Dia kemudian berlutut, eh? Untuk apa?
"Will you marry me, Risti?"
Dia melamarku! Semua kaget, tapi begitu cepat menguasai keadaan dan kini sibuk menyoraki agar kuterima. Aneh. Kurasa ini mimpi, tapi iris mata cokelat itu terlalu nyata menatap sendu penuh permohonan.