Di Indonesia setidaknya ada 850 PESK (Pertambangan Emas Skala Kecil) yang ditenggarai menggunakan mercury dalam pengolahan emas. PESK tersebar di seluruh Indonesia, 32 propinsi, 197 kabupaten. Korban keracunan mercury dilaporkan sudah berjatuhan di Sekotong, Nusa Tenggara Barat, Lebak, Banten. Warga yang diduga keracunan mercury bukan hanya petambang melainkan juga warga biasa yang terpapar pencemaran lingkungan oleh mercury.
Penyakit minamata merupakan gangguan lingkungan dalam skala yang belum pernah dialami manusia. Sejumlah besar limbah industri yang tidak diolah, yang mengandung bahan berbahaya termasuk merkuri organik dibuang ke Laut Shiranui. Limbah tersebut menghancurkan lingkungan, menyebabkan kerusakan serius pada kesehatan manusia. Pencemaran menyebar ke seluruh laut shiranui, membentang dari Teluk Minamata ke pulau-pulau di sisi lain laut shiranui.
Kerusakan lingkungan dan penyakit ini ditimbulkan oleh limbah merkuri yang digunakan oleh perusahaan bernama Chisso Corporation. sebuah laporan dibuat, menunjukkan "logam berat yang terkandung dalam ikan dan kerang menyebabkan reaksi pada tubuh manusia". Penyakit yang kelak dikenal dengan sebutan penyakit minamata. Penyakit Minamata atau Sindrom Minamata adalah sindrom kelainan fungsi saraf yang disebabkan oleh keracunan akut merkuri (air raksa). Gejala penyakit ini meliputi kesemutan pada kaki dan tangan, tremor, lemas-lemas, kejang, penyempitan sudut pandang dan degradasi kemampuan berbicara dan pendengaran. Pada tingkatan akut, gejala ini biasanya memburuk disertai dengan kelumpuhan, kegilaan, koma dan kematian.
Di Sekotong, Nusa Tenggara Barat dilaporkan anak-anak kecil menjadi cacat akibat paparan merkuri. Orang-orang yang mengalami gangguan syaraf. Anak-anak yang terkena penyakit ini bisa mengalami kejang sampai berjam-jam. Fakta menyedihkan lainnya dari korban pemcemaran merkuri yang terus berjatuhan adalah korban tak mendapat perhatian dan layanan pengobatan yang memadai. Dari Sekotong, orang tua korban harus datang ke Mataram untuk mendapatkan obat anti kejang.
Negara Harus Hadir
850 PESK, 32 propinsi Indonesia serta banyak Penambangan Emas Tak Berizin (PETI) yang sudah tidak terpantau, penyakit Minamata diyakini tidak hanya terpantau di Sekotong melainkan di seluruh Indonesia. Negara harus hadir untuk menghentikan pencemaran yang disebabkan merkuri.
Sumber merkuri ternyata tidak jauh. Salah satu lokasi penambangan cinnabar bahan baku merkuri ada di Gunung Botak dan Gunung Tembaga, Seram, Maluku. Pemerintah telah menutup tambang cinnabar di Gunung Botak, tapi penambang liar bergeser ke Gunung Tembaga. Pemerintah harus lebih tegas dalam menutup tambang-tambang cinnabar. Perlu dilakukan sosialisasi bagi penambang mengenai bahaya merkuri bagi kesehatan diri juga anak keturunan. Penyakit minamata dapat diturunkan dari ibu yang banyak terpapar merkuri kepada bayi dalam kandungan.
Konvensi Minamata ini pun telah ditandatangani 128 negara di Jepang pada 10 Oktober 2013. Indonesia salah satu negara penandatangan, namun baru pada bulan September 2017 meratifikasi konvensi ini. Pada 24-29 September 2017 ini, dalam pertemuan COP I Konvensi Minamata di Jenewa. Sebelumnya, 50 negara telah masuk (depository) kepada Sekretariat Jenderal PBB pada 18 Mei, hingga 90 hari kemudian yaitu 16 Agustus 2017, Konvensi Minamata berlaku (entry into force). Sebanyak 74 negara telah meratifikasi Konvensi Minamata. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia harus lebih ketat mengatur peredaran dan pemanfaatan merkuri di tengah masyarakat.
Penyakit Minamata telah mengancam penambang dan keluarganya, negara harus hadir bertindak lebih tegas untuk mengatur peredaran merkuri dari pemanfaatan yang tidak semestinya. Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Minamata. Sudah ada lokasi dan sudah ditemukan korban. Penyakit Minamata sudah ada dan kian banyak. Indonesia tidak hanya bisa menjadi minamata kedua, bisa jadi akan ada banyak kasus minamata di berbagai lokasi penambangan emas liar yang tersebar di 32 propinsi seluruh Indonesia.
Kapan Negara benar-benar hadir? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H