Bahwa istilah islam dan berislam itu berbeda. Islam adalah agama yang sempurna karena datang dari dzat yang sempurna yaitu Allah swt. Dan setiap muslim pasti meyakininya bahwa Islam adalah agama yang paling benar menurut keyakinannya. Itu tidak perlu dipersoalkan lagi karena ini adalah agama, keimanan, keyakinan yang harus dimiliki kokoh oleh penganutnya. Islam tidak perlu lagi dipersoalkan, apalagi dimoderasi. Untuk apa Islam dimoderasi? Pastilah Islam sudah moderat pada dirinya dengan sendiri. Tapi yang harus dimoderasi adalah cara kita berislam, cara kita memahami islam, cara kita mengamalkan ajaran-ajaran Islam itu yang harus senantiasa dijaga pada jalurnya yaitu moderat.
Apa itu moderat? Moderat adalah lawan dari ekstrem, ekstrem adalah berlebih-lebihan atau tatharruf, ghuluw. Moderat megandung dua substansi pokoknya, yaitu keadilan dan keseimbangan. Seperti halnya moderator, dia memerankan diri sebagai pemeran yaitu orang yang harus moderat harus adil dan senantiasa mengaja keseimbangan dalam mengatur lalu lintas diskusi dan juga menyikapi suatu pandangan-pandangan yang muncul dalam suatu forum diskusi Jadi cara kita berislam itu yang penting untuk senantiasa kita jaga pada jalurnya agar tidak berlebih-lebihan, tidak eksesif. Karena seringkali begitu kita fanatiknya beragama, begitu semangatnya yang menggebu-gebu dalam beragama, memahami Islam, mengamalkan Islam. Apalagi kalau fanatisme ini tidak ditopang atau tidak didukung oleh wawasan keilmuan yang cukup, maka ini bisa berpotensi untuk terjerembak, terperosok, terjerumus pada tindakan-tindakan yang berlebih-lebihan atau ekstrem.
Sebenarnya khazanah keilmuan Islam begitu kaya dengan keragaman, karena memang keragaman itu adalah kehendak Allah swt. Maka di sinilah pentingnya sikap moderasi beragama, moderat tidak berlebih-lebihan. Karena setiap manusia dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Dia memiliki perspektif dan sudut pandang yang karenanya dalam melihat, menerjemahkan, menafsirkan ajara agama itu bisa berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya. Tidak ada tafsir Al-Qur'an yang homogen, tunggal, tafsir Al-Qur'an itu beragam. Terjemahan tafsir senantiasa mengalami perubahan karena dalam menerjemahkan, menafsirkan ajaran agama kita tidak hidup di ruang hampa. Lingkungan strategis kita sangat mempengaruhi pemaknaan kita terhadap suatu ajaran, suatu nilai yang ada pada agama Islam.
Ilustrasi contoh ajaran Islam yang tidak perlu dipersoalkan, yang semua kita iktifak, bermufakat akan kebenarannya yaitu misalnya Islam hadir untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan. Perempuan di mata Islam itu mulia, bahkan Rasulullah saw tiga kali menyebut perempun seorang ibu, baru setelah itu laki-laki. Betapa mulianya perempuan itu sudah jelas, sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Salah satu inti pokok ajaran Islam itu memuliakan perempuan. Semua kita sepakat, tapi bagaimana menerjemahkan agar perempuan itu tetap mulia, tetap terhormat harkat derajat martabatnya. Di sini kita beragam pandangan, berbeda bentuk pengamalan untuk mengimplementasikan ajaran memuliakan perempuan. Di beberapa negara di timur tegah, perempuan dilarang meyetir mobilnya sendiri itu diharamkan. Sesuatu yang bertolak belakang, seakan-akan dengan di sini. Jangankan menyetir mobilnya sendiri, di Indonesia seorang perempuan bahkan bisa menjadi hakim pengadilan agama. Seorang hakim pengadilan agama, bahkan di negara Islam sekalipun kita tidak menjumpai ada hakim pengadilan negara perempuan. Kalau kita tidak cukup memiliki wawasan, beranggapan kalau ini adalah dua contoh yang kontradiktif, berbenturan yang satu melarang dan yang satu membolehkan. Tapi bagi mereka yang memahami maqashid syariah, yang memahami maksud dan tujuan diterapkan sebuah ketentuan hukum itu sangat tergantung dengan lingkungan strategis bagaimana hukum itu ditetapkan. Maka pengaruh budaya dan tradisi itu sangat mempengaruhi ketetapan suatu hukum. Masyarakat di timur tengah mungkin budaya dan konteksnya kemudian mereka sampai kepada kesimpulan, kemaslahatannya mengharamkan perempuan menyetir mobilnya sendiri itu lebih besar atau madharatnya lebih kecil dibanding kalau dibolehkan. Sesuatu yang bentuk konteksnya berbeda dengan kita.
Poin dari ilustrasi tersebut adalah kita tidak boleh mudah menyalah-nyalahkan pihak yang tidak sama dengan kita. Ini adalah poin dari seorang ilmuan, seorang yang memiliki kapasitas keilmuan yang cukup. Dia tidak mudah terjebak pada begitu mudahnya menyalah-nyalahkan pihak yang tidak sama dengannya, apalagi mengkafir-kafirkannya. Contoh yang seperti ini banyak sekali di khazanah keilmuan kita, tidak cuma di bidang fikih. Tetapi di bidang ilmu kalam, teologi, tasawuf itu beragam sekali.
Di sinilah kita perlu mencontoh sikap ulama terdahulu, mereka tidak pernah mengklaim kebenaran itu hanyalah ada pada dirinya. Tetapi selalu membuka pintu keluangan bahwa kebenaran itu juga ada pada pihak lain yang berbeda pada dirinya. Inilah salah satu semangat dari moderasi dalam konteks beragama dan berislam. Mari kita dalam beragama Islam jangan merasa yang paling benar sendiri. Karena dalam beragama kita akan menemui suatu keragaman, kearifan dalam melihat persoalan yang beragam ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H