Lihat ke Halaman Asli

Sekuntum Bunga

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

SEKUNTUM BUNGA

Oleh: Fatma Elly

SAVITRI menyiapkan tulisan di secarik kertas; avec fleur plein d’ amour.Menempatkan dan menyelipkan di antara bunga mawar merah muda, pada vas di meja tulisnya. Senyumnya terkulum manis di kedua bibir. Hatinya berbunga-bunga.

“Sebentar lagi ia datang. Dan akan membaca.“Pikirnya.

Matanya menari di seputar ruang. Melihat dan memperhatikan; apakah ruang belajar itu telah tertata baik dan bersih, ataukah belum? Dinilai cukup memuaskan, ia pun dengan riang bergerak melangkah arah ke depan. Ke jendela ruang tamu. Melihat lewat kaca ke halaman. Hatinya berdebar. Yang ditunggu belum juga menampakkan diri. Dan iapun kembali melangkahkan kaki. Berpikir dan merenung-renung. Membayangkan ketampanan dan kewibawaan orang yang dinanti.

“Hm, ia memang lain,“ katanya.

Gambaran orang yang selama ini mengecewakan dirinya, melintas sekejap. Pada rumah, dalam keluarganya.

Seketika wajahnya berubah muram. Kemurungan beberapa detik menerpa. Bayangan keadaan yang ditemui di dalam kehidupan ke seharian, membuatnya semakin mendamba.

“Tidak. Aku tidak mau memiliki suami seperti itu. Kasihan anakku.“ Katanya. Wajahnya berbaur warna merah menyala. Dan ia mulai mengkhayal:

“Pintar, tampan, baik, penuh karisma.”  Dan lelaki itu hadir di pelupuk matanya.Senyumnya pun terkulum. Harapnya mewangi dalam bunga-bunga harum.

“Anak-anak akan bahagia. Tenteram bersama kedua orang tua. Dan tidak ada konflik.” Pikirnya.

*****

SAVITRI, putri tunggal bapak Sumanta dan ibu Marlina. Sepasang suami istri, orang tua yang selama ini membuat ia resah. Rupanya, pada rumahnya, dalam keluarganya, ada yang membuatnya tidak bahagia. Seperti sesuatu yang hilang dan ingin dicarinya. Pasangan hidup yang dapat membahagiakannya dalam ketenteraman dan kasih sayang.

Pasalnya, ia tak senang melihat perilaku ayah yang selalu mengalah, sementara ibu senang menjajah. Tidak ada kewibawaan pada ayah,kesemena-menaan pada ibu. Harga dan kehormatan diripun terabaikan. Sebagai lelaki dan suami, pak Sumanta tak berwibawa sama sekali. Lemah dan penurut. Layaknya kerbau dicucuk hidung, ia tidak suka membantah. Bahkan terlihat agak kebodoh-bodohan. Tidak bisa mendidik istri ataupun anak. Apalagi dalam hal keagamaan. Karena memang, ia bukan orang yang senang memperhatikan masalah itu. Baginya beragama hanya sebatas kulit saja.

Memang, paras ibu cantik menawan, membuat ayah cinta tidak kepalang. Apalagi ibu mempunyai kedudukan dan pendapatan yang lebih tinggi daripada ayah.Sebagai wanita berpendidikan tinggi, ditambah paras cantik, supel dalam pergaulan, tentu saja mudah memperoleh pekerjaan. Dan jadilah sang ibu sebagai wanita karir yang memiliki kedudukan.

******

Dengan semakin maraknya gerakan feminis di Barat, angkatan kerja perempuan semakin meningkat. Namun banyak yang mengkeritisi; kondisi perempuan bukan menjadi baik, malah semakin buruk.

Bukankah dengan banyaknya perempuan menguasai pekerjaan di sektor publik, para lelaki menjadi penganggur, keresahan sosial dapat timbul? Penyebab dendam,penghilang rasa tanggung-jawab lelaki sebagai kepala keluarga. Sehingga dengan seenaknya mereka bersikap masabodoh terhadap kewajiban memberi nafkah. Acuh dan cuek terhadap anak dan istri. Menimbulkan sikap hidup egois, malas, santai, bahkan rendah diri, karena merasa kalah dengan sang istri?

Dengan keadaan semacam ini, apakah roda perekonomian bisa berjalan baik? Produktifitas bisa bertambah? Padahal agama mendudukkan seseorang menurut proporsi hak. Agar mereka bisa hidup bahagia lahir maupun batin. Dunia ataupun akhirat. Dimana laki-laki ditempatkan sebagai pemimpin keluarga untuk mengayomi, melindungi, memberi ketenteraman, ketenangan, kesejahteraan bagi keluarga. Istri dn anak-anak.

Ternyata pak Sumanta tak memiliki kriteria seperti itu. Sedang Savitri,merasa menderita menerima kenyataan ini. Ia haus terhadap identifikasi tersebut. Untuk itu hatinya pun lalu jatuh dan menyinta sang guru bahasa Perancis. Bilamana melihat figur yang dirindukan itu, terdapat pada diri sang guru tersebut. Bayanganlelaki itu, dan segala sesuatu mengenai dirinya, begitu menguasai perasaan hati dan pikiran Savitri. Dan sebaliknya, bayangan ayah dan kenyataan yang dihadapi di rumah, membuatnya semakin sebal dan kesal. Kecewa dan jengkel. Baik terhadap ibu, apalagi ayah.

SUDAH dua minggu guru bahasa Perancis itu tidak datang memberi les. Selama itu pula Savitri seperti kehilangan tenaga. Kehilangan semangat. Kerjanya hanya melamun dan menghayal. Jiwanya gelisah-resah. Tak keruan rasa. Belajar pun tak mau. Termasuk bahasa Perancis!

*****

RINDU, ya itulah yang kini terasa menggebu-gebu di dada Savitri. Rasanya lelah mata menunggu jam les yang sepekan dua kali. Kedatangan guru itu selalu dinantikannya dengan berdebar dan harap-harap cemas. Namun harapannya sia-sia. Karena guru itu tak kunjung datang. Bahkan di sekolah pun, ia tidak hadir.

Savitri benar-benar bingung.

Kenapa?selalu tanyanya dalam hati.

KINI, pada hari jam lesnya yang kesekian kali, ia pun sudah bersiap-siap menanti. Sengaja duduk di teras depan rumah, dengan koran di tangan. Agar bisa langsung melihat dengan jelas kedatangan sang guru.

“Barangkali saja hari ini ia datang,“ katanya penuh harap.

Dan memang, tidak berapa lama menunggu, tiba tiba sebuah bajaj berhenti di depan rumah. Hatinya berdebur.

Namun, ketika matanya menangkap sesosok tubuh keluar dari bajaj, dan ia cukup mengenalnya dengan baik, ia pun mengurungkan niatnya untuk membaca. Menyingkapkan koran itu dari wajah dan pandang, menatap seksama ke arah orang tersebut, yang diiringi dua orang anak dan seorang perempuan berbusana muslimah.

“Ya Tuhan, apa lagi ini?“ jerit Savitri dalam hati. Jantung berdegup. Dada berdebur kencang.

Laki-laki dengan dua orang anak dan seorang perempuan itu, kemudian menguakkan pintu rumah. Masuk sembari mengucapkan salam.

Savitri pun beranjak bangkit. Menghambur ke halaman. Membalas salam, walau untuk itu ia harus mengangkat tubuhnya kuat-kuat, karena lemah dan lemas.

Setelah mempersilahkan duduk di ruang tamu, dan mereka saling bersapa berbasa-basi, guru itu pun mulai berkata:

“Maaf, Bapak tidak mengajar. Tidak memberimu les bahasa Perancis lagi. Soalnya Bapak dan keluarga akan pindah mengajar di Bandung. Jadi Bapak, ceritanya mau pamit nih, bersama istri dan anak-anak Bapak.“

Duhai, Savitri merasakan tikaman ke ulu hatinya. Perih, pedih sekali.

Pada saat keluarga guru itu keluar meninggalkannya, ia masih tercenung mematung. Tubuhnya lemas. Tenaganya hilang. Ucapan salam perpisahan mereka, hanya dijawabnya dengan suara lemah tergetar.

BILAMANA langkah-langkah mereka sudah tak terdengar, tubuh-tubuh tak kelihatan lagi, menghilang pulang dibawa kendaraan, Savitri pun tak kuat menahan tangis. Air matanya mengucur deras di pipinya. Tidak kuasa berkata dan bersuara. Hanya luka dan duka yang melandanya!

*****

SEMENJAK PERTEMUAN DI LES terakhir itu, setelah mengetahui bahwa Savitri mencintainya, guru itu pun harus membuat keputusan tegas. Tidak memberi peluang hubungan dan cinta Savitri berkembang. Ia harus berhenti mengajar dan memberi les.

Kebutuhan biaya kehidupan yang kurang, dengan gaji yang diperolehnya sebagai guru SMU, merupakan alasan ia bersedia  untuk memberikan les. Namun karena melihat kenyataan muridnya itu mencintainya, maka ia  mengambil keputusan tadi.  Tidak memberi les lagi. Sedang urusan kebutuhan ekonomi rumah tangga, bisa dicari di tempat lain. Bahaya berdua-duaan dengan lain jenis, walau itu sekedar memberi les, bukanlah hal yang tidak berdampak buruk. Dan harus diwaspadai. Apalagi ia sudah mulai mempelajari agama secara lebih serius, pikir sang guru tersebut saat itu.

Alhamdulillah, Allah membukakan jalan-Nya. Ia mendapatkan pekerjaan baru di Bandung. Pindah bersama keluarga ke sana.

SEMENTARA Savitri, sekuntum bunga yang baru mekar, tapi belum mewangi dengan nilai-nilai agama, karena orang tua tidak mengajari dan mendidik, belum mampu menemukan dan mendapatkan itu. Bahkan kedua orang tua tidak memperlihatkan hal-hal yang semestinya. Yang dituntut dan diajarkan oleh agama dan contoh Rasul-Nya Saw.. agar mendidik anak dalam bidang agama dan akhlak.

JADILAH SAVITRI, sekuntum bunga yang belum bisa menebarkan harum dan wangi ke-sekeliling, hatinya diliputi luka yang mendalam. Yang bisa saja mendatangkan bencana bagi dirinya, lingkungan, masyarakat, dan kaum dari agama yang dianutnya itu!

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At Tahriim, QS 66: 6).

Wallahu a’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline