CINTA FACEBOOK
Oleh: Fatma Elly
Bibirnya merekah. Senyumnya tersungging. Dipandangnya profil itu. Si pengirim tulisan.Kata-kata dan kalimat, membuatnya berdegup. Hatinya tergetar. Berbinar matanya menatap. Goyang kepalanya menanda kagum.
“Bukan main. Bukan main,” gumamnya di tengah kekaguman.
Dibacanya lagi bait puisi itu:
kau mentari bagiku
menyapa dalam kehangatan
menerangi sukma jiwaku
disepanjang hari perjalanan
ada lucu di sana, dalam canda kasih sayang
ada perhatian di situ,atas nama kebutuhan
ada kelembutan mempesona
dalam raupan kasih mendalam
terhadap cinta, hatimukau berikan
ah… kau tahu…
meski tak bisa kupeluk dikau
dalam lingkup realitas..
tapi bayang maya semupun
masih dapat kuharap
tetap bisa kutangkap
pemabuk digelut haus
menggebu di atas rindu
debar dada mengharu biru
mengangan bayang
kiranya… andainya
meluncur lewat hatinya terpana
indahnya cinta alam maya
Desisnya terhembus. Dan ia seperti seorang pemabuk yang digelut haus. Debaran di dadanya mengharu biru. Menggebu di atas rindu yang aneh. Kemudian, ia masih jua tersenyum-senyum. Membayang-bayang.Mengangan-angan…
Kata-kata kiranyapun bermunculan. Ya. Kiranya… seandainya.., semua kata ituseolah meluncur lewat hatinya yang terpana.
TIBA-TIBA suara itu memanggil. Namanya disebut. Dan ia terperangah. Terperanjat dari kursi di hadapan komputernya. Asyikmasyuknya serentak terganggu.
Tergopoh, berlari enghambur ke arah suara.
“Ya Mas,” jawabnya lemah di antara sengal nafasnya memburu. Realita itu berdiri di hadapannya. Ia tertegun. Sejenak. Dunia maya tertinggalkan.
“Kemana saja sih kamu?” teguran itu berada di antara kegusaran. “Apa tak cukup sejam dua jam menghadapi komputermu? Fesbukan lagi… fesbukan lagi.” nada suara itu seakan kesal. Mulai menyebali atas laku sang istri.
“Tidak Mas, Ini.. ini,” ia seakan mau menyanggah dalam sebuah alasan.
“Ini.. ini.., ada apa sih memangnya?” kalimat tersebut sudah bernada curiga.
Seperti tak tidur semalaman, rona di wajahnya menyemi pucat. Dan ia tak menjawab. Semacam kecemasan melanda. Serentak itu, sanubarinya bersuara: “Ada apa ya?” tanyanya pada benaknya. Seolah tak mengerti dan tidak memahami. Ia bingung sendiri.
“Malam ini kan aku mau istirahat. Mau santai denganmu setelah kelelahan sehabis bekerja.” Suara itu seolah menuntut. Dan ia terdiam. Tak sesuatu suarapun terdengar keluar.
“Tapi… kau malah asyik fesbukan. Apa kau tak menyadari tugas dan kewajiban seorang istri?”
Ia tersentak. Tugas dan kewajiban seorang istri? Keningnya berkerut. Dan ia mulai mengingat-ingat.
“Bukankah sudah,” hatinya berbisik.
Seperti digelayuti bayang, ia melihat semua. Terpampang. Masak, mengurus anak, rumah tangga, juga menghibur suami setelah kelelahan sehabis kerja dan ingin mendapatkan bagian kesenangan yang dipinta dan dipunya.
“Heeeh,” ia seolah mendengus dalam desah sebalnya yang kentara.
“Apalagi sih yang kurang?” protesnya. Menyesali eksistensi diri yang banyak dimintai tuntutan, tanpa keseimbangan penyelarasan kebutuhannya sendiri ditunaikan.
Serentak, wajahnya terlihat buram.
Dan ia teringat ustadz di pengajian. Saat mengatakan:
“Seorang istri itu harus taat pada suami. Mesti minta izin kalau mau pergi. Jangan pernah menolak, kalau mau diajak bersenang. Kalau menolak melayani, dan suami sepanjang malam jengkel, maka malaikat melaknat sang istri tersebut sampai pagi.”
Lalu Ustaz itu membacakan hadisnya, yang diriwayatkan Mutaffak’alaih.
“Ah… kenapa sih, orang selalu bicara tentang wanita. Jarang tentang lelaki.” Semacam rasa iri menjalari.
Ingatan pada Ustadz terhenti sejenak.
Yang diingat sekarang, bagaimana suaminyamenggaulinya, sebagaimana unta atau keledai. Tak ada cumbu atau cengkerama. Sebagaimana gambaran hadis yang dibacanya. Bahkan tidak itu saja, perhatian sehari-haripun jarang diperlihatkan. Acuh, cuek, sedikit kasar, dalam rutinitasnya yang membosankan. Mungkin dianggapnya, toh sudah menjadi istrinya. Miiknya. Tak perlu khawatir lagi akan menghilang. Terlepas dari genggaman tangannya sebagai suami. Pemilik sah istrinya itu, melalui suatu pernikahan yang diakui kelaziman dan keabsahannya sesuai agama yang dipeluk.
Tiba-tiba wajahnya terlihat murung. Bayang facebook, terpampang serentak. Profil dan kiriman tulisan puisi itu, menyentuh kalbunya sesaat. Dan ia merasa kehausan itu terpenuhi. Keindahan kata dan kalimat, menghibur dirinya di antara kebutuhan.
Lalu ia ingat suaminya lagi. Bagaimana ia telah menggaulinya. Seperti burung bertengger, lalu pergi. Itupun petikan gambar sebuah hadis pula.
Dan ia ingat ayat yang pernah dibacanya:
“………………. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuat, padahal Alah telah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An Nisaa’, QS 4:19)
Desisnyakembali terdengar. Bayang keagungan akhlak terbaik yang dipunya Rasul SAW. membayang lewat status yang pernah dibacanya dan ditulis salah seorang di situ.
“Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik dari kamu terhadap keluargaku. Orang yang memuliakan kaum wanita adalah orang yang mulia, dan orang yang menghina kaum wanita adalah orang yang tidak tahu budi.” (HR. Abu ‘Asaakir)
Getir di bibirnya terlihat nyata. Di samping tentuya terpesona oleh akhlak yang dimiliki Rasul-Nya SAW., tidak seperti apa yang ditemui pada diri suaminya sendiri. Padahal, bukankah mereka disuruh untuk mencontoh Rasul SAW. mengikuti dan mencintainya?
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al Ahzab, QS 33:21)
“Hai orang-orang yang beriman,, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu………” (QS An Nisaa’, QS 4:59)
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali ‘Imran, QS 3:31)
SEKIAN LAMA, seperti tercenung melamun itu, tambah membuat suaminya semakin kesal. Dengan nada gusar, ia berkata sebal:
“He Fima, apa kau masih tak mengerti, kewajiban seorang istri terhadap suami?” katanya seraya tubuhnya bangkit beranjak dari ruang keluarga tempatnya berada itu, berjalan melangkah menuju kamar.
Dan ia dengan keterpaksaan yang menyertai, melangkahkan kakinya pula ke arah yang sama. Tujuan yang sudah amat dikenal dan diketahui.
Rasa malas di atas kejenuhan oleh perlakuan yang tak romantis manis, membuatnya semakin melambung tinggi di atas khayal dunia maya. Di mana fesbuk dengan profil orang yang suka mengirim tulisan padanya, di atas puisi yang menyanjungnya dalam gambar bayang matahari yang selalu menyinari, membuatnya seakan dibawa larut dalam dunia khayal yang dirindui.
Ah.. dan iapun menikmatinya. Tanpa sang suami mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
BEGITULAH. Dunia khayal dan angan-angan yang dibuat, di atas dambaan keinginan yang menggebu, semakin mencengkeramnya sedemikian rupa. Dan ia lupa pada dunia realitas tempat di mana ia berpijak. Dunia maya lebih memukaunya daripada dunia nyata yang menyakitkan. Hingga pada akhirnya ia tak tahan lagi.
Dunia maya yang selama ini membawanya pada pengenalan semu di atas bayang-bayang yang dibentuk, ingin direalisasikan di alam realitas.
Mulailah jalan ke arah itu dirintis. Dari chating, menanjak ke kepembicaraan mengatur waktu dan jam pertemuan di suatu tempat. Bukan lagi dunia maya sebagai yang selama ini merupakan tempat mereka memadu kasih impian manisnya di atas keindahan bayang yang dibentuk. Tapi dunia nyata, dimana mereka bisa menumpahkan segala rasa dahaga yang selama ini mengungkungnya dalam bayang dan damba rindunya yang tak terpungkiri.
HINGGA pada akhirnya, sang suami mencium semua itu. Dalam rasa frigiditas yang dialami atas laku sang istri. Bahkan sebuah nama dan foto yang terselip dalam tas sang istri, yang ditemuinya saat ia iseng mencurigai. Dan mulai memeriksa apa yang kiranya dapat diperiksa. Termasuk tas tersebut!
Detik ia menemukan itu, dan kata-kata serta puisi di sebalik foto tersebut, iapun tak bisa lagi untuk tidak mengambil keputusan. Untuk apa mempertahankan istri yang nyata-nyata telah tidak setia dan mulai berselingkuh dengan lelaki lain!
KEPUTUSAN cerai itupun tak ditundanya lagi. Kehormatan seorang suami tak mau dicemari dengan pengkhianatan seorang istri. Biarpun cerai sesuatu yang dibenci Tuhannya!
Lalu, bagaimana pula peralihan dunia maya ke dunia nyata si istri? Ternyata keindahan cinta alam maya, tak menjadi nyata di alam realitas!
Lelaki dunia maya yang senang menulis puisi, dan mengirimkannya pada perempuan itu dalam bait-bait manis dan indah syairnya, tidak lain hanya untuk memenuhi keinginan mencoba di atas kesetiaan perempuan itu pada suaminya! Oleh balas dendam kesakitan yang selama ini telah diperdapatnya oleh tingkah laku istrinya pula. Yang telah melarikan diri dengan lelaki lain, teman di fesbuk, di atas goda keindahan semu dunia maya. Yang menjanjikan keindahan cinta dalam kecukupan materi yang dijanjikan. Yang selama itu tak dapat dipenuhi sang suami oleh ketiadaan kerja yang diperoleh setelah mengalami PHK oleh perusahaan dimana ia bekerja! Karena adanya krisis ekonomi global dalam dunia perbisnisan properti!
Gemerlapan kota metropolitan, dengan segala giuran kesenangan dan serba keindahan semu yang menggairahkanmempesona itu, telah menggoda istrinya sedmikian rupa diatas keinginan dambaan harta sebagai satu-satunya wujud yangdipercayai, yang bisa membuat manusia bahagia!
Wallahu a’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H